Oleh: Irwan, M.Pd
Dosen IAIN Batusangkar & TACB
Virus Corona tidak hanya merubah wajah dunia dari segi ekonomi, politik dan sosial saja. Berbagai istilah bahasa pun bermunculan sejak pandemi Corona ini. Istilah itu banyak yang dibuat dalam bentuk singkatan. Misalnya, ODP (Orang Dalam Pengawasan), PDP (Pasien Dalam Pantauan/Pengawasan), APD (Alat Pelindung Diri), OTG (Orang Tanpa Gejala), PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), dan lain sebagainya.
Kini, sebuah istilah dan konsep baru meluncur lagi yaitu New Normal atau ‘kenormalan baru’. Artinya, ada konsep kenormalan yang baru yang harus disesuaikan dengan keadaan pandemi Corona ini. Banyak orang yang masih bingung memaknai nya karena istilah itu diambil dari istilah asing. Mengapa tidak dipakai istilah dalam bahasa Indonesia? Entahlah. Mungkin bahasa Inggris masih dianggap lebih bergengsi atau entah karena alasan lainnya.
Kalau kita fahami konsep New Normal tersebut, dalam bahasa Minang pun masih banyak kita temui persamaan konsep dan istilahnya. Ada beberapa persamaan konsep dan istilah New Normal dalam bahasa Minang yaitu: pertama, ungkapan “usang-usang dipabarui.” Artinya adalah memperbaharui yang sudah ada namun ada penambahan dan perubahan sedikit. Perubahan nya tidak mencolok.
Kedua, ungkapan “calak-calak kaganti asah.” Maksudnya adalah membuat sesuatu yang mungkin tidak terlalu berharga namun perlu dilakukan untuk pengisi waktu agar dikira oleh orang lain bahwa kita tetap bekerja. Setelah konsep yang baru datang, maka hasil pekerjaan kita tadi tidak akan dihargai atau tidak dipakai sama sekali alias mubazir saja.
Ketiga, ungkapan “batuka baruak Jo cigak, maimbuah sikua karo.” Maksudnya adalah mengganti sesuatu dengan yang dianggap lebih berharga dan membutuhkan biaya tambahan. Padahal barang yang diganti tersebut nilai nya tidak jauh beda dengan barang yang kita miliki. Mengapa kita mau? Mungkin ada yang melobi, menekan atau memaksa dengan berbagai cara sehingga kita tidak berdaya untuk menolaknya.
Keempat, ungkapan “batuka tuka raso, kok lai kabarubah.” Artinya adalah mengganti ‘rasa’ terhadap sesuatu yang baru ditawarkan dengan harapan ada perbedaan dari ‘rasa’ yang sudah biasa. Kadang kita tertipu dengan sesuatu ‘kemasan’ yang baru padahal belum tentu lebih baik mutunya dari yang lama.
Kelima, istilah “baraja raja iduik surang.” Istilah ini digunakan oleh orangtua kita di Minangkabau jika anaknya sudah beranjak remaja dan sudah bisa mencari pendapatan sendiri walaupun belum tetap. Si anak akan dibiarkan melakukan hal yang ‘baru’ bagi mereka. Sebab, kemandirian serta kemampuan bertahan hidup harus bisa menyesuaikan dengan keadaan. Ini merupakan prasyarat untuk bisa menghadapi kehidupan dunia yang penuh tantangan.
Memang istilah dalam bahasa Minang yang dibuat oleh nenek moyang orang Minangkabau memiliki makna yang sangat dalam dan bisa disesuaikan dengan konteks kehidupan. Konsep New Normal ini pun belum tentu bisa diterapkan di semua daerah karena berbagai kekurangan sarana dan prasarana. Tetapi yang jelas bagi pejabat kita, jika ada sesuatu yang baru kenapa tidak dicoba? Urusan berhasil atau tidak, cocok atau tidak, itu adalah urusan nanti. Setidaknya dengan memakai konsep New Normal ini kita ingin dianggap oleh orang lain lebih maju, lebih responsif dan lebih “siap”, padahal Wallahu alam.