Penggunaan Bahasa Sebagai Identitas Nasional Khususnya di Universitas Andalas

Oleh: Maylani Zulfa Egies dan Nadia Angelina
(Mahasiswa Universitas Andalas, Padang)

Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan penanda budaya, cermin sejarah, serta identitas suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, bahasa Indonesia telah menjadi simbol persatuan sejak dideklarasikan dalam Sumpah Pemuda 1928. Namun, dalam era globalisasi dan percampuran budaya digital, muncul pertanyaan kritis: Sejauh mana mahasiswa masa kini — khususnya di Universitas Andalas — masih menganggap dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai identitas nasional?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dilakukan survei terhadap 22 mahasiswa Universitas Andalas melalui penyebaran kuesioner daring. Hasilnya menggambarkan dinamika sikap, persepsi, serta pola penggunaan bahasa di kalangan mahasiswa kampus ini.

Bahasa Indonesia Sebagai Identitas dan Simbol Persatuan
Hasil kuesioner menunjukkan bahwa semua responden (100%) menyatakan “sangat setuju” bahwa bahasa Indonesia mencerminkan identitas nasional. Temuan ini mengindikasikan adanya konsensus yang sangat kuat di kalangan mahasiswa Universitas Andalas mengenai posisi strategis bahasa Indonesia sebagai simbol kebangsaan. Tidak ada satu pun responden yang menyatakan ragu atau tidak setuju terhadap hal ini, yang mengisyaratkan bahwa bahasa Indonesia masih diakui secara kolektif sebagai identitas nasional yang sah dan penting.

Ketika ditanya tentang tingkat pengetahuan mereka mengenai konsep bahasa Indonesia sebagai identitas nasional, mayoritas responden memilih opsi “cukup tahu” dan “sangat tahu”, dengan tidak ada jawaban yang menunjukkan ketidaktahuan. Hal ini mencerminkan bahwa mahasiswa tidak hanya sekadar menyetujui secara normatif, tetapi juga memiliki pemahaman substantif mengenai peran bahasa Indonesia dalam konteks kenegaraan dan kebudayaan.

Lebih lanjut, pada pertanyaan mengenai seberapa penting peran bahasa Indonesia dalam mempererat persatuan mahasiswa dari berbagai daerah, sebagian besar responden memilih “sangat penting”, dan sisanya memilih “penting”. Tidak terdapat jawaban yang menunjukkan keraguan terhadap fungsi bahasa Indonesia sebagai perekat sosial. Ini memperkuat kesimpulan bahwa bahasa Indonesia tetap menjadi medium utama interaksi dan integrasi lintas budaya di lingkungan kampus.

Baca Juga :  Emerone Hotel Batusangkar Bersama KORMI Tanah Datar Pelopori Festival Permainan Tradisional

Melalui data ini, dapat disimpulkan bahwa mahasiswa Universitas Andalas memandang bahasa Indonesia bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai landasan yang menghubungkan keberagaman menjadi satu kesatuan nasional. Pandangan ini, meski berasal dari sampel kecil, mencerminkan bahwa nilai-nilai kebahasaan yang terkandung dalam semangat Sumpah Pemuda masih dipegang teguh oleh generasi muda akademik masa kini.

Realitas Penggunaan Bahasa di Lingkungan Kampus
Data kuesioner menunjukkan bahwa dalam komunikasi formal seperti diskusi kelas dan presentasi, seluruh responden (100%) menyatakan bahwa mereka selalu menggunakan bahasa Indonesia. Temuan ini mencerminkan bahwa bahasa Indonesia masih menjadi norma utama dalam konteks akademik di lingkungan Universitas Andalas. Tidak ditemukan satupun responden yang menggunakan bahasa lain dalam situasi formal, menandakan bahwa bahasa Indonesia tetap berfungsi sebagai bahasa ilmiah dan profesional di kalangan mahasiswa.

Namun, situasi berbeda muncul dalam konteks komunikasi santai bersama teman. Jawaban responden pada pertanyaan ini menunjukkan variasi yang cukup signifikan:
• 36% responden menggunakan bahasa daerah dalam interaksi informal,
• 27% menggunakan campuran bahasa (Indonesia, daerah, dan/atau gaul),
• 18% menggunakan bahasa Indonesia secara murni,
• dan 18% lainnya menggunakan bahasa gaul.

Distribusi ini menunjukkan bahwa dalam ranah sosial non-formal, mahasiswa cenderung lebih fleksibel dan adaptif terhadap penggunaan berbagai jenis bahasa. Bahasa daerah masih memiliki tempat kuat sebagai identitas kultural, sementara penggunaan bahasa gaul dan campuran mencerminkan pengaruh lingkungan sosial dan media digital.

Kecenderungan ini mengindikasikan adanya identitas linguistik ganda: mahasiswa tetap menjaga penggunaan bahasa Indonesia dalam ruang akademik formal, tetapi juga memberi ruang bagi ekspresi identitas pribadi dan kelompok melalui bahasa lain dalam percakapan santai. Fleksibilitas ini mencerminkan realitas kebahasaan generasi muda saat ini yang hidup di antara tuntutan nasionalisme linguistik dan dinamika budaya populer global serta lokal.

Baca Juga :  Wabup Richi Aprian Buka Acara Bimtek Standar Manajemen Mutu Buah Tropika

Tantangan: Bahasa Gaul dan Asing di Tengah Nasionalisme
Salah satu pertanyaan kunci dalam kuesioner adalah tentang pandangan mahasiswa terhadap ancaman penggunaan bahasa gaul dan asing di kampus terhadap keberadaan bahasa Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa:
• 27 persen responden menyatakan bahwa penggunaan bahasa asing dan gaul cukup mengancam,
• 45 persen memilih jawaban tidak terlalu mengancam,
• dan 27 persen lainnya menyatakan bahwa hal tersebut sangat mengancam.

Tidak ada responden yang memilih jawaban bahwa bahasa asing dan gaul sama sekali tidak mengancam. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun mahasiswa terbiasa dan terbuka dalam menggunakan bahasa non-formal dalam keseharian, tetap ada kesadaran kolektif mengenai potensi ancaman terhadap dominasi dan kelestarian bahasa Indonesia apabila penggunaan bahasa asing dan bahasa gaul tidak disikapi secara kritis.

Sementara itu, pada pertanyaan tentang apakah bahasa daerah lebih mencerminkan identitas pribadi dibandingkan bahasa Indonesia, mayoritas responden, sekitar 68 persen, memilih jawaban sama pentingnya. Sisanya terbagi antara yang menjawab ya (bahasa daerah lebih mencerminkan identitas pribadi) dan tidak. Jawaban ini menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa memiliki pandangan inklusif terhadap identitas kebahasaan mereka.

Dengan kata lain, mahasiswa tidak memandang bahasa Indonesia dan bahasa daerah sebagai dua hal yang saling bertentangan, melainkan sebagai bagian yang saling melengkapi dalam membentuk jati diri mereka sebagai individu sekaligus warga negara. Ini menunjukkan bahwa identitas linguistik mahasiswa bersifat majemuk, di mana nasionalisme dan kekayaan lokal dapat hidup berdampingan secara harmonis.

Saran Mahasiswa: Menjaga Bahasa Lewat Aksi Kampus
Dalam kolom esai terbuka kuesioner, mahasiswa Universitas Andalas memberikan berbagai usulan agar bahasa Indonesia tetap eksis sebagai identitas nasional di lingkungan kampus, antara lain:
• Mengadakan seminar dan diskusi tentang kebahasaan.
• Menormalkan penggunaan bahasa Indonesia dalam interaksi harian.
• Meningkatkan konten kreatif berbahasa Indonesia di media sosial kampus.
• Mengurangi dominasi penggunaan bahasa asing dalam komunikasi informal.

Baca Juga :  Wali Nagari Pariangan Bersama Tokoh Masyarakat Dirikan Sekolah Adat di Pariangan

Penutup: Bahasa Menyatukan, Bukan Membatasi
Hasil kuesioner yang melibatkan 22 mahasiswa Universitas Andalas menunjukkan bahwa bahasa Indonesia masih dipandang sebagai identitas nasional yang penting dan relevan. Semua responden menyatakan sangat setuju bahwa bahasa Indonesia mencerminkan identitas nasional, dan sebagian besar menyatakan cukup tahu hingga sangat tahu tentang perannya sebagai bahasa pemersatu.

Namun, dalam konteks komunikasi santai, mahasiswa menunjukkan kecenderungan untuk menggunakan bahasa lain, seperti bahasa daerah, bahasa gaul, atau campuran. Hal ini mencerminkan adanya pergeseran fungsi bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari yang bersifat lebih fleksibel dan situasional. Kendati demikian, sikap mahasiswa terhadap ancaman dari bahasa gaul dan asing tetap menunjukkan kewaspadaan. Tidak ada yang menganggapnya tidak mengancam, meskipun sebagian besar menilai ancamannya masih tergolong ringan hingga sedang.

Mayoritas mahasiswa juga memandang bahasa Indonesia dan bahasa daerah sebagai dua elemen identitas yang sama pentingnya. Ini menunjukkan adanya kesadaran linguistik yang majemuk, di mana nasionalisme dan akar budaya lokal dapat berjalan seiring tanpa saling menegasikan.

Dengan demikian, meskipun tantangan globalisasi dan pengaruh budaya luar terus menguat, mahasiswa Universitas Andalas tetap menunjukkan sikap positif terhadap bahasa nasional. Bahasa Indonesia harus terus dirawat dan diperkuat, bukan dengan menolak kehadiran bahasa asing, tetapi dengan menciptakan ruang-ruang penggunaan yang kontekstual, membanggakan, dan berdaya saing. Karena menjaga bahasa berarti merawat identitas dan keberlangsungan bangsa. (*)