Oleh: Irwan & Adelia Febrika Attarika
(Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, FTIK UIN Batusangkar)
Judul Artikel: The Effect of Classroom-Based Assessment and Language Processing on the Second Language Acquisition of EFL Students
Penulis: Michael Perrone
Penelitian ini mengevaluasi akibat dampak penilaian berbasis kelas terhadap proses bahasa pada pembelajar EFL, khususnya pada struktur embedded questions/statements. Penelitian ini berfokus pada dua partisipan dewasa dari negara Italia pada kursus persiapan First Certificate of English (FCE), yang menghasilkan data sebagai berikut:
- Pelajar dengan tingkat kemampuan lebih tinggi: Melakukan proses pemahaman dan pembelajaran SLA dengan lebih cepat dan akurat,
- Pelajar dengan tingkat kemampuan lebih rendah: Memiliki kesulitan dalam memproses struktur bahasa kedua/ asing baik dari aspek, kecepatan dan akurasi.
Fokus utama dari penelitian ini yang perlu digarisbawahi adalah:
- Noticing: Kemampuan pelajar untuk mengenali dan memperhatikan bentuk bahasa baru.
- Accommodation: Proses pembiasaan pemahaman bentuk bahasa baru ke dalam interlanguage siswa.
- Developing System: Pengaruh latihan berulang kali pada kecepatan dan akurasi pemrosesan.
- Feedback: Peran umpan balik yang insightful deskriptif dari guru atau teman sebaya/ sekelas
Dari penelitian ini dapat ditemukan beberapa hal, yaitu:
- Pelajar berkinerja tinggi menunjukkan pemrosesan yang lebih cepat dan akurat, serta lebih responsif terhadap latihan berulang dan umpan balik.
- Pelajar berkinerja rendah mengalami keterbatasan dalam memahami struktur bahasa baru, sebagian karena belum siap secara perkembangan untuk menerima input tersebut.Keterkaitan Hasil Penelitian dalam Konteks EFL di Indonesia.
- Hasil penelitian ini relevan dengan tantangan dalam kelas bahasa Inggris di Indonesia, di mana kesenjangan keterampilan antar pelajar sering terjadi.
A) Proses Noticing (memperhatikan struktur bahasa). Ditemukan bahwa Pelajar berkinerja tinggi lebih efektif dalam “noticing” (memperhatikan dan memahami) struktur bahasa, sedangkan pelajar berkinerja rendah kesulitan membentuk koneksi makna.
Konteks Indonesia:
Siswa Indonesia cenderung mengalami kesulitan dalam noticing karena metode pengajaran yang berfokus pada tata bahasa tanpa konteks nyata.
Solusi yang dapat diterapkan:
Peningkatan Pembelajaran Berbasis Konteks: Guru bisa menggunakan teknik input enhancement seperti menekankan struktur target dalam teks atau percakapan otentik. Misalnya, menyoroti embedded questions dalam cerita pendek atau dialog.
B) Kesiapan Perkembangan dan Diferensiasi Pembelajaran
Temuan Penelitian menunjuk bahwa Pelajar dengan kemampuan lebih rendah kesulitan memproses bentuk baru karena belum siap secara perkembangan.
Konteks Indonesia:
Kelas SLA di Indonesia seringkali memiliki siswa dengan kemampuan beragam. Siswa berkinerja rendah kesulitan mengikuti materi yang terlalu kompleks.
Solusi yang dapat diterapkan:
Metode Scaffolding: Guru harus memperkenalkan materi secara bertahap, dimulai dari bentuk sederhana ke kompleks.
Diferensiasi Tugas: Siswa Berkinerja Tinggi: Dapat diberikan tugas berupa analisis, seperti membedakan kalimat langsung dan embedded questions. Siswa Berkinerja Rendah: Fokus pada pemahaman makna dan pengulangan sederhana.
C) Latihan Berulang (Repeated Practice)
Temuan Penelitian menunjukkan bahwa Latihan berulang meningkatkan kecepatan dan akurasi pemrosesan pada pelajar berkinerja tinggi, tetapi justru membingungkan pelajar berkinerja rendah.
Konteks Indonesia:
Di Indonesia, latihan sering berupa drill tanpa konteks sehingga tidak membantu pemahaman mendalam siswa.
Solusi yang dapat diterapkan:
Pendekatan Berbasis Tugas (Task-Based Learning):
Berikan latihan yang bermakna dan lebih komunikatif, seperti permainan peran (role-play) atau diskusi berpasangan. Contoh:
“Buatlah kalimat embedded questions dalam konteks wawancara pekerjaan.”
Refleksi Proses: Ajak siswa merenungkan struktur baru setelah latihan (metakognisi).
D) Umpan Balik (Feedback)
Temuan Penelitian menunjukkan bahwa Umpan balik deskriptif dari teman sebaya membantu siswa berkinerja rendah memperbaiki pemahaman mereka.
Konteks Indonesia:
Guru di Indonesia sering memberikan umpan balik berupa koreksi langsung, yang tidak selalu membantu siswa memahami kesalahan mereka.
Solusi yang dapat diterapkan:
Umpan Balik Deskriptif:
Berikan umpan balik spesifik yang membantu siswa menyadari kesalahan dan memperbaiki pemahaman. Contoh:
- “Kalimat kamu hampir benar, tetapi posisi kata kerjanya masih salah. Coba perhatikan urutan subjek dan kata kerja dalam embedded questions.”
Diskusi Berpasangan/ Kelompok dan Feedback: Latih siswa untuk memberikan umpan balik sederhana dan membangun. Perlu Keterkaitan dengan Pedagogik Lebih Lanjut di bawah ini:
A. Pembaruan Sistem Penilaian Formatif:
Guru di Indonesia dapat menggunakan penilaian formatif berbasis tugas untuk mengevaluasi pemahaman siswa secara real-time.
B. Penggunaan Materi yang Lebih Authentic Konteks:
Sajikan materi tata bahasa melalui teks atau situasi yang dekat dengan kehidupan siswa. Misalnya: embedded questions dalam percakapan sehari-hari atau film pendek.
C. Solusi dari Kesenjangan Kinerja:
Terapkan pendekatan student-centered learning yang mendorong siswa untuk aktif merefleksikan dan mempraktikkan bahasa.
D. Penguatan Praktik dengan Refleksi dan Feedback:
Setelah latihan, ajak siswa berdiskusi: “Apa yang sulit dari latihan tadi? Mengapa struktur kalimatnya seperti itu?”
Kesimpulan
Penelitian ini menekankan pentingnya memahami perbedaan individu dalam pemerolehan bahasa kedua. Dalam konteks pembelajaran EFL di Indonesia, fokus pada noticing, scaffolding, latihan bermakna, dan umpan balik deskriptif dapat membantu siswa memproses dan menginternalisasi bentuk bahasa baru secara efektif.
Dengan menerapkan strategi yang sejalan dengan teori SLA, guru di Indonesia dapat menciptakan lingkungan pembelajaran yang lebih mendukung perkembangan kompetensi bahasa siswa.
Sumber gambar: Ensemble Learning. Diakses dari google free access.