Opini  

Motivasi Perantau Maju di Pilkada Perlu Dipertanyakan

Oleh: Nopi Budiman, M.Si

Direktur Pusat Kajian Politik “Studia Politika”

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak akan dihelat pada tgl 9 Desember 2020 jika tidak ada aral melintang. Berbagai figur publik baik yang di kampung maupun yang di rantau mulai bermunculan. Semua mengaku ingin membangun daerah karena kecintaan mereka terhadap kampung halaman. Tapi benarkah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu penelitian dan kajian literatur dari berbagai perspektif. Namun sebelum penelitian dilakukan ada beberapa hipotesis yang perlu dibangun tentang “perantau yang pulang kandang” ini.

1. Perspektif merantau zaman dahulu. Bagi orang Minang merantau adalah sebuah cara untuk mencari atau memperbaiki kehidupan ke arah yang lebih baik di daerah lain. Tradisi ini sudah diwarisi semenjak zaman dahulu. Sebelum merantau putra Minang disiapkan dengan berbagai keterampilan untuk bekal dirinya. Akhlak (agama), beladiri, seni berdiplomasi dan lain sebagainya diajarkan di surau. Tapi selalu ada pesan, “kok ijuak manjadi tali anau di rimbo dikana juo.” Artinya, kalau sudah sukses jangan lupa dengan negeri asal. Tapi pesan tersebut dahulunya bersifat lokalistik alias sebatas kampung atau jorong saja. (Hal ini pernah ditulis oleh Farhida untuk disertasi, 2019).

2. Perspektif merantau zaman kekinian. Dewasa ini rantau bukanlah suatu yang dianggap jauh, karena dengan teknologi, yang jauh bisa diperdekat. Meskipun merantau ke pulau Jawa atau keluar negeri sekalipun namun masih bisa video call setiap waktu dengan keluarga yang di kampung. Kalaupun ingin pulang kampung sekali tiga hari juga bisa. Setelah sukses di rantau, keinginannya menjadi bertambah; ada yang ingin jadi bupati/walikota, wakil bupati/wakil walikota bahkan jadi gubernur. Ini adalah sebuah fenomena baru.

Baca Juga :  Transformasi Politik Modern: Antara Kekuatan dan Ancaman

Kalau kita lihat contoh di Tanah Datar beberapa tahun kebelakang, misalnya Ikasuma Hamid, Masdar Saisa, Masriadi Martunus, Sadiq Pasadigoe, semuanya perantau tetapi rantaunya adalah “rantau pejabat” kecuali Masriadi Martunus yang merupakan seorang pengusaha. Tapi kini, yang dominan adalah perantau yang berprofesi sebagai pedagang, pengusaha dan merangkap politisi. Ini adalah sebuah fenomena yang perlu dicari jawabannya.

Yang perlu dijawab adalah apa motivasi mereka menjadi kepala daerah? Apakah karena betul-betul ingin membangun daerah? Apakah ingin mencari lahan bisnis baru dengan kekuasaan? Apakah karena tidak ada orang kampung yang pantas menjadi kepala daerah? Apakah ingin unjuk kekayaan? Apakah karena tidak bisa bersaing di “kolam” yang lebih luas sehingga harus ke “kolam” yang lebih kecil alias pulang kampung?

Kini, sebagai masyarakat yang berdomisili di kampung, tentu menarik juga hal ini menjadi pertanyaan. Kalau bicara penguasaan daerah, tentu orang yang tinggal di kampung lebih memahami persoalan di kampung. Namun dalam proses politik hari ini, banyak variabel yang menjadi bahan pertimbangan politik. Persoalan rantau dan kampung mungkin hanya salah satu bagian kecil saja.

Untuk menjawab apa motivasi perantau untuk menjadi kepala daerah biarlah sebuah kajian akademik menjawabnya nanti. Andai saja semua calon yang dari rantau mau menjawab jujur dan ikhlas hari ini, tak perlu lagi kita sebar angket untuk mereka. Tapi, kalau motivasi mereka ada “agenda terselubung” atau hidden agenda biarlah Tuhan yang mengalahkan mereka melalui suara rakyat sebagaimana ungkapan dalam bahasa Latin “Vox Populi, Vox Dei.” Artinya, suara rakyat adalah suara Tuhan. (Bersambung).