Opini  

Diduga Kurang Faham Aturan Benda Cagar Budaya, Surat Kadis Parpora Terkait Istano Basa Pagaruyung Blunder?

Opini Oleh: Muhammad Intania, SH
(Advokat & Pengamat Sosial Politik)

Sebuah petuah Minang: Diagak mako diagiah, diukua Mako dikarek. Siang dicaliak caliak, malam didanga danga. Artinya, pelajari! Supaya jangan salah pasang.

Publik dan netizen Tanah Datar baik di kampung halaman maupun di perantauan banyak mengomentari di media sosial tentang rilis berita dan klarifikasi Bupati Tanah Datar Eka Putra, SE, MM yang tidak mengizinkan (baca: melarang) kegiatan event Desak Anies yang dihadiri oleh Calon Presiden Anies Baswedan yang rencananya di Istano Basa Pagaruyung pada Rabu, 3 Januari 2023 dengan alasan ada aturan yang melarangnya. Benarkah demikian, atau hanya menjadikan aturan sebagai tameng pembenaran untuk melarang kegiatan tersebut? Mari kita bedah berdasarkan data agar netizen Luhak Nan Tuo semakin arif menilai berdasarkan data, bukan berdasarkan emosional subjektif semata.

Penulis mendapatkan salinan surat Kepala Dinas Parpora Kabupaten Tanah Datar yang TIDAK BERTANGGAL, bulan Januari 2024 Nomor: 000.1.4/012/Parpora-TD/2024 perihal Tanggapan yang menyebutkan bahwa komplek Istano Basa Pagaruyung adalah Fasilitas Pemerintah yang merupakan cagar budaya yang dilindungi oleh UU No. 11 Tahun 2010 pada Pasal 85 (baca poin 1).

Apa benar Istano Basa Pagaruyung merupakan Benda Cagar Budaya? Atau ini adalah produk berita hoaks (berita bohong / berita tidak benar) atau mengada ngada yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah yang mengarah pada pembohongan publik karena tidak faham aturan?

Hasil penelusuran penulis menemukan bahwa Bupati Tanah Datar Eka Putra telah menandatangani Keputusan Bupati Nomor 432/421/DIKBUD 2022 Tentang Status Cagar Budaya pada tanggal 14 Oktober 2022. Disampaikan bahwa ada 68 (enam puluh delapan) item Status Cagar Budaya, dan TIDAK SATUPUN ditemukan / dinyatakan bahwa Istano Basa Pagaruyung adalah cagar budaya.

“Ba a lo ko kok Bupati Eka Putra sendiri lupo jo apo yang ditanda-tanganinyo? Lagian kok para pembantu Bupati tidak mengingatkan pimpinannya? Kan bisa blunder jadinyo” ujar Wan Labai sambil tertawa cekikikan.

Selain itu, media online Persada Post dalam beritanya tanggal 2 Januari 2023 bertajuk: “Anies Baswedan Tidak Jadi Acara di Istano Basa Pagaruyung 3 Januari besok, Begini Penjelasan Lengkap Bupati Tanah Datar” menyampaikan press release dari Eka Putra selaku Bupati Tanah Datar bahwa ada 4 alasan Bupati Tanah Datar yang menyebabkan Anies Baswedan tidak dapat melaksanakan giat kampanyenya di Istano Basa Pagaruyung.

Baca Juga :  Jargon Politik Paslon di Tanah Datar

Alasan utama menurut Bupati Eka Putra dalam rilis berita itu adalah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 20 Tahun 2023 Pasal 27A Ayat 5 yang berbunyi:
“Kampanye pemilu di fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan dilaksanakan pada hari Sabtu dan/atau Minggu”. Sedangkan Istano Basa Pagaruyung adalah fasilitas pemerintah yang merupakan cagar budaya yang dilindungi undang-undang.

Menurut pandangan penulis, alasan Bupati Eka Putra ini sangat naif (tidak tepat) dan tidak relevan sama sekali dalam memaknai isi Pasal 27A Ayat 5 ini. Apa hubungannya fasilitas pemerintah dilaksanakan pada hari Sabtu / Minggu dikaitkan dengan fasilitas pemerintah sebagai cagar budaya?

Lagi pula, sejak kapan Istano Basa Pagaruyung ditetapkan sebagai Benda cagar budaya? Bukankah Bupati Eka Putra sendiri yang menandatangani bahwa hanya ada 68 status cagar budaya di Tanah Datar saat ini tanpa menyebutkan Istano Basa Pagaruyung termasuk salah satunya. Jadi jangan asal nyemplak sajo pak, hehehe

Penetapan status cagar budaya tidak bisa sekehendak hati Bupati dan Kadis Parpora. Ada mekanisme / prosedur yang harus jalani oleh pihak yang berwenang. Penetapan Status Cagar Budaya harus melalui kajian oleh Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) yang bersertifikasi khusus terlebih dahulu. Setidaknya hal itulah yang disampaikan oleh salah seorang TACB Kabupaten Tanah Datar.

Di Tanah Datar, sudah ada Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) sebanyak 5 (lima) orang . Mereka sudah bersertifikat dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI dan sudah di SK kan oleh Bupati Tanah Datar bahwa mereka adalah TACB di kabupaten Tanah Datar. Mungkin bupati lupa.

Harapan kita, manfaatkanlah TACB tersebut. Merekalah yang memiliki wewenang secara undang undang untuk mengusulkan, menetapkan bahkan menghapuskan benda cagar budaya melalui kajian ilmiah. Sekali lagi, mungkin bupati lupa.

Dari diskusi penulis dengan salah seorang TACB, menyampaikan bahwa Istano Basa Pagaruyung belum memenuhi syarat ditetapkan sebagai Benda cagar budaya, merujuk kepada UU No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan ditambah dengan Buku Panduan Juklak & Juknis Penetapan Benda Cagar Budaya. Salah satu sebabnya karena usia bangunan belum melebihi 50 (lima puluh) tahun.

Baca Juga :  Anak Adopsi: Rawan Kekerasan?

Jadi jika ada pejabat daerah yang mengatakan bahwa Istano Basa Pagaruyung itu merupakan benda cagar budaya, maka bisa dikatakan “ngaur” alias tidak mengerti / tidak paham dengan aturan dan menafsirkan sepihak saja. Tapi kalau dikatakan Istano Basa Pagaruyung itu sebuah objek wisata, itu betul.

“Makonyo jangan disamokan sajo sawah jo pematang. Bisa bisa karena kekurangan literasi dan minimnya intelektual pejabat daerah serta ogah bertanya kepada orang yang tepat, maka informasi yang dikeluarkan bisa dianggap sebagai informasi yang membohongi publik” gumam Wan Labai sok bijak seraya menghisap kretek merahnya.

Kembali ke alasan Bupati Eka Putra dan Kadis Parpora yang tidak mengabulkan pelaksanaan event Desak Anies tersebut di Istano Basa Pagaruyung dengan alasan rujukan peraturan yang tidak relevan dan terkesan mengada ada serta salah menetapkan status Istana Basa Pagaruyung tersebut, maka penolakan pemberian ijin tersebut dianggap sarat dengan nuansa politis, terkesan amatiran dan kurangnya pemahaman pejabat dan timnya dalam mencarikan alasan yuridis yang tepat.

Hal blunder lainnya jika mengatakan kampanye dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, dan Istano Basa Pagaruyung diklaim sepihak sebagai fasilitas pemerintah, lantas kenapa kampanye Desak Anies boleh dilakukan di Lapangan Cindua Mato (LCM) ? Bukankah LCM adalah fasilitas pemerintah juga? Milik pemerintah juga?

“Jadi nan mano nan batua ko pak? Disitu dilarang, disiko buliah. Ja an la salah samek takah itu dek ado kepentingan politis terselubung di dalamnyo” gumam Wan Labai tersenyum simpul.

Maka bisa dimaknai larangan event Desak Anies di Istano Basa Pagaruyung tersebut lebih sebagai larangan politis. Diketahui bahwa Eka Putra adalah kader Partai Demokrat sedangkan wakil Bupati Richi Aprian adalah ketua partai Nasdem Tanah Datar. Secara koalisi untuk presiden, mereka beda haluan. Mungkinkah karena alasan itu? Bialah saluang nan manyampaikan.

Baca Juga :  Menguji "Ketahanan" Eka-Richi: Sebuah Catatan untuk Muhammad Intania

Akibat larangan event Desak Anies di Istano Basa Pagaruyung itu, ada dampak negatif yang (entah dipikirkan atau tidak) oleh pemerintah kabupaten Tanah Datar dibawah kepemimpinan Eka Putra saat ini dimana terjadi potensi hilangnya dampak eksposur promosi objek wisata Istano Pagaruyung dan potensi kehilangan PAD akibat “sikap politis salah samek” ini. Bayangkan saja jika ada 500 orang yang ikut event Desak Anies di Istano Basa Pagaruyung yang diharuskan membayar biaya masuk Rp. 15.000.- / orang, maka Tanah Datar berpotensi kehilangan PAD Rp. 7.500.000,- belum potensi pendapatan dari biaya parkir dan biaya sewa tempat serta juga hilangnya kesempatan pendapatan untuk UKM UKM yang ada disekitar Istano Basa Pagaruyung.

Menutup tulisan kali ini, maka ada hikmah positif yang bisa kita ambil dari peristiwa tidak diberinya ijin kampanye di Istano Basa Pagaruyung oleh Bupati Eka Putra dan melalui Kadis Parporanya juga bahwa pandangan / pendapat dari Sumber Daya Manusia (SDM) lain selain dari orang sekitar Bupati dan pembantu pembantunya dibutuhkan bagi untuk mendapatkan opsi terbaik bagi Bupati Eka Putra untuk mengambil kebijakan / keputusan yang tepat. Oleh karena itu peran Pentahelix sejatinya membantu kebijakan kebijakan Bupati selama dilalui dengan azas transparansi dan profesionalisme.

Pesan moral: Janganlah merasa jumawa menjadi penguasa. Sejatinya ada area “blank spot” yang tetap membutuhkan kritik dan saran dari Pentahelix agar pimpinan tidak masuk jurang karena sorak sorai pengembira yang mengelilingi.

Orang yang mengkritisi berbasis data tandanya peduli, bukan karena benci. Karena seorang pengkritik tahu pimpinan itu sebenarnya baik, akan tetapi menjadi tidak baik karena salah mengambil keputusan politis akibat masukan masukan yang tidak tepat dari orang sekeliling yang hanya berposisi sebagai “dayang dayang” penguasa yang tidak punya kemampuan dan cenderung ngge pak atau yes bos.

Jadi, sebelum membuat sebuah keputusan, merujuklah kembali kepada petuah Minang yang penulis kutip di awal tulisan diatas. Batusangkar kota budaya, Tanah Datar Luak Nan Tuo. Awak lai rami, tapi? (*)