Opini Oleh: Muhammad Intania, SH (Advocat)
Batu turun dari lereng Marapi,
Air deras membawa duka,
Setahun sudah duka ini,
Do’a dan harapan tak pernah sirna.
Anak nagari saling menguatkan,
Bersatu hati dalam penderitaan,
Kini saatnya kita bangunkan,
Tanah Datar yang penuh harapan.
Bencana banjir bandang (Galodo) yang menghantam Kabupaten Tanah Datar pada tanggal 11 Mei 2024 lalu telah meninggalkan luka mendalam bagi keluarga korban dan masyarakat Tanah Datar. Setidaknya diketahui 32 orang meninggal dunia, 10 orang dinyatakan hilang dan 26 orang luka-luka. Selain itu tercatat rumah hanyut sebanyak 43 unit, rumah rusak ringan dan rusak berat sebanyak 153 unit dan jembatan rusak sebanyak 36 unit serta saluran irigasi tidak berfungsi sebanyak 124 unit.
Tercatat juga ratusan hektar sawah dan kolam ikan warga rusak tertimbun material galodo. Lebih dari 200 unit kendaraan roda dua dan roda empat milik warga dinyatakan hilang dan sebanyak 15.032 ekor ternak (sapi, kerbau, itik) dinyatakan hanyut.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menetapkan status Tanggap Darurat selama 14 hari untuk wilayah Sumatera Barat, yang mencakup kabupaten Tanah Datar dan kabupaten terdampak lainnya. Penetapan status Tanggap Darurat tersebut tentu saja menimbulkan konsekwensi penting terutama terhadap konsekwensi keuangan dan konsekwensi politik sehingga perlu adanya pertanggung jawaban keuangan di kemudian hari.
Setelah masa Tanggap Darurat berakhir, Pemerintah Kabupaten Tanah Datar menetapkan status Transisi Darurat ke pemulihan pasca bencana yang berlaku selama 1 (satu) tahun, mulai 09 Juni 2024 hingga 09 Juni 2025. Langkah ini diambil karena masih terdapat kerusakan signifikan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat, meskipun masa Tanggap Darurat telah usai.
Kebijakan menetapkan status Transisi Darurat dipandang sebagai langkah yang bagus dengan harapan ada penetapan skala prioritas untuk pemulihan (recovery) pasca bencana seperti program trauma healing untuk para korban dan keluarga korban, perbaikan rumah, pengembalian fungsi sawah dan kolam ikan terdampak, perbaikan akses jalan, perbaikan / pembangunan baru infrastruktur jembatan, perbaikan saluran irigasi, dll dengan target kehidupan warga kembali normal dan roda ekonomi kembali lancar.
Namun sayangnya agak minim diperoleh informasi resmi tentang sudah berapa orang warga yang sudah lepas dari program trauma healing, sudah berapa dan dimana saja jembatan yang sudah diperbaiki, dan sudah berapa dan dimana saja saluran irigasi yang sudah berfungsi normal kembali.
Hanya sedikit informasi bahwa sudah ada sekitar 511 hektar lahan pertanian terdampak yang sudah mulai dipulihkan melalui program reklamasi dan bantuan alat serta bibit, namun tidak diketahui di lokasi mana saja yang sudah ditanggani serta berapa biaya yang telah keluarkan.
Hanya kegiatan bersifat seremonial saja yang menonjol dikedepankan seperti seremonial penyerahan Hunian Tetap (Huntap) kepada keluarga eks korban bencana Galodo yang diadakan menjelang 1 tahun bencana Galodo tersebut.
Terasa memalukan dan menyedihkan manakala sampai 1 tahun pasca bencana Galodo ini pemerintah daerah Tanah Datar tak kunjung mampu mendahulukan perbaikan jembatan utama yang menghubungkan akses keluar masuk menuju kota Batusangkar.
Lihat saja kondisi jembatan simpang Manunggal dan jembatan Jl. Raya Batusangkar – Ombilin dekat simpang Panti yang tidak kunjung diperbaiki hingga saat ini.
Tidak ada tanda tanda atau progress nyata dari Pemkab Tanah Datar seperti misalnya memasang baliho disain jembatan di lokasi yang secara tersirat bahwa pejabat Pemkab Tanah Datar sudah memfollow up ke tingkat provinsi / pusat bahwa sudah dibuatkan disain dan RABnya, menggambarkan bahwa saat ini sedang menunggu turunnya anggaran. Satu tahun bukan waktu yang sebentar untuk mengurus dan memberikan perkembangan (update) oleh pejabat Pemkab kepada publik Tanah Datar.
Dari perspektif penulis, sebenarnya ada hal hal penting yang harus didahulukan oleh Pemerintah Kabupaten Tanah Datar daripada sekedar pencitraan semu berupa seremonial belaka, yaitu:
1). Menormalisasi fungsi jalan dan jembatan berbasis skala prioritas serta memberikan informasi yang jelas kepada publik mana akses jalan dan jembatan yang dikerjakan terlebih dahulu dan menyusul yang lainnya.
Sejauh pengamatan penulis, hanya 1 jembatan putus dari jalan kabupaten (kewenangan kabupaten) yang berhasil dinormalisasi, yaitu jembatan yang menghubungi Kecamatan Lima Kaum ke Kecamatan Rambatan via Jl. Rambatan. Selain itu, jembatan yang ada masih memakai jembatan darurat dan jembatan Bailey seperti jembatan ruas jalan Terminal ke Bukit Siangok (ruas Jl. Batusangkar – Ombilin) dan jembatan di ruas jalan Nagari Sawah Tanggah ke Nagari Sungai Jambu.
Minimnya informasi juga tidak menyebutkan dimana saja dan sudah berapa jembatan yang sudah dipulihkan kondisinya. Padahal ada 36 jembatan yang rusak (baik jembatan kewenangan provinsi maupun kewenangan kabupaten).
2). Memberikan laporan pertanggung jawaban keuangan atas pengelolaan dana bencana. Ketidak-transparanan pengelolaan dana akan menyebabkan citra pemerintah daerah menjadi buruk dimata warga karena ketidak-transparanan tersebut akan menciptakan kesalah-pahaman dikalangan warga. Jadi jangan salahkan warga yang menilai negatif bilamana pemerintah daerah sendiri tidak informatif dan tidak transparan.
Sebagaimana diketahui bahwa sarana jalan dan jembatan adalah urat nadi perekonomian. Data statistik menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Tanah Datar pada tahun 2024 mengalami perlambatan dari 4,4 % menjadi 3,85% saja.
Salah satu faktor penyumbang terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi di tahun 2024 tentu saja akibat bencana yang melanda Tanah Datar dan lambannya pemerintah daerah melakukan upaya normalisasi jalan dan jembatan sehingga terhambatnya bisnis produksi pertanian, terhambatnya usaha perdagangan serta terhambatnya bisnis pariwisata dll yang merupakan bisnis utama faktor penyumbang pendapatan daerah.
Jadi menurut perspektif penulis, lambannya pemulihan ekonomi Tanah Datar turut dipengaruhi oleh lambannya “stake holder” Tanah Datar dalam upaya normalisasi sarana dan prasarana jalan dan jembatan pasca bencana Galodo.
“Jangan tanya peran pejabat dan para wakil rakyat deh atas tanggung jawab moril mengatasi perlambatan pertumbuhan ekonomi masyarakat Tanah Datar. Mungkin saja mereka sibuk dengan upaya pencitraan diri untuk menghadapi Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2024” ujar Wan Labai seraya menghisap kretek merahnya di kedai Etek Ciek Piah.
Menutup tulisan kali ini, dalam mengenang satu tahun bencana Galodo Tanah Datar, mari kita semua evaluasi dan introspeksi untuk menata Tanah Datar lebih baik lagi.
Dari satu tahun mengenang bencana Galodo Tanah Datar ini, kita dapat belajar dan mengambil hikmah sebagai berikut:
1) Karena kondisi keuangan daerah selalu defisit (baca: merugi), maka pemerintah daerah Tanah Datar punya ketergantungan yang tinggi kepada “belas kasihan” pemerintah pusat. Akibatnya dalam kondisi terjadi keadaan darurat, pemerintah daerah Tanah Datar menjadi gamang karena tidak punya dana cadangan untuk mengatur daerahnya sendiri sesuai kewenangan otonomi yang dimiliki.
Oleh karena itu, sudah saatnya agar pemerintah daerah dan para wakil rakyat merubah mindset dari jago “bermain” anggaran mengelola dana defisit menjadi pemerintah yang berbasis menjadi daerah yang SURPLUS. Sudah tidak saatnya terus memposisikan diri menjadi daerah yang tekor.
Inilah momentum yang tepat untuk menuju kebangkitan menuju daerah yang SURPLUS. Hal ini dimungkinkan karena kepala daerah Tanah Datar adalah seorang master ekonomi. Tentu dia tahu bagaimana mengangkat Tanah Datar dari jurang defisit menuju daerah yang surplus.
Dengan menjadi daerah yang surplus, maka dipastikan mudah bagi pemerintah daerah dan wakil rakyat untuk menyetujui perbaikan sarana dan prasarana daerah dan bahkan memungkinkan untuk menambah sarana dan prasarana baru tanpa harus beralasan ini kewenangan pusat, ini kewenangan provinsi dan beragam alasan pembenaran lainnya.
2). Agar pemegang kepentingan (stake holder) Tanah Datar saat ini menetapkan perencanaan dan strategi matang menuju Tanah Datar yang bebas ketergantungan keuangan dari Pemerintah Pusat efektif tahun 2030. Sosialisasikan kepada publik, maka dengan sendirinya akan timbul optimisme warga, tokoh masyarakat, investor, perantau dll untuk mendukung rencana hebat tersebut.
Potensi ketokohan dan keuangan masyarakat Tanah Datar itu luar biasa, tapi tersebar di banyak daerah (rantau), oleh karena itu jika pejabat daerah mampu merangkul semua elemen kekuatan ekonomi daerah, maka niscaya Kabupaten Tanah Datar akan berjaya.
3) Transparan dan informatif dalam pengelolaan keuangan dana Galodo dan membuat Laporan Pertanggung Jawaban Keuangan Bencana Galodo Tanah Datar 2024.
Jika ada potensi penyalahgunaan keuangan, maka kepala daerah bersama Pimpinan DPRD dapat mengambil langkah tegas untuk mengusut “tikus tikus” yang menggerogoti kredibilitas pemerintah.
Jika tidak berani tegas, maka dikhawatirkan timbul perspektif negatif publik akan adanya kompromi politik di tingkat elit penguasa daerah. Makin parah lagi jika ternyata para elit penguasa daerah ikut “cawe-cawe” dalam pusaran penyelewengan dana bantuan Galodo tersebut.
4). Hilangkan pencitraan semu dan kurangi hal hal yang bersifat seremonial (karena makin memboroskan anggaran) serta bekerjalah berbasis data dan turun ke lapangan memeriksa realisasi janji kampanye serta bukan untuk ingin disambut dengan seremonial melulu. (*)