Oleh: Kasdi Ray, SH
Sebuah Opini dan Realitas
“Arsitektur Istano Pagaruyung yang miring, tiangnya pun miring, disengaja untuk bersahabat dengan alam”
Istano Basa Pagaruyung merupakan sebuah bangunan rumah gadang Minangkabau. Bangunan rumah gadang tersebut juga dijadikan sebuah museum megah yang berdiri di Pagaruyung, Batusangkar, Kab. Tanah Datar, Sumatra Barat. Museum ini bernama Museum Istana Basa Pagaruyung, yang selama ini lazim disebut Istano Basa Pagaruyung, artinya ‘istana besar’ atau juga dikenal Istana Pagaruyung.
Bangunannya berbentuk Rumah Gadang atau rumah adat Minangkabau. Dilengkapi dengan gonjong, ujungnya runcing pada bagian atap bak tanduk kerbau.
Untuk mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya, terdapat 11 gonjong yang menghiasi atap istana ini. Uniknya, 11 gonjong ini diberi serat ijuk seberat 26 ton . Tidak heran, jika warna atap ini berwarna cokelat tua kehitaman.
Khusus rumah gadang Istano Basa Pagaruyung memiliki panggung besar bertingkat tiga. Setiap lantainya memiliki keistimewaan masing-masing. Detail ornamen-ornamen akar, bunga dan daun terukir indah. Bermain dengan warna-warna cerah. Semuanya terlihat kontras namun keindahannya berhasil membuat setiap pengunjung terpukau dan kagum atas keunikannya. Bila berada di dalamnya akan terasa sejuk meskipun di dalam museum ini tidak menggunakan pendingin udara, karena ruang yang tinggi dan besar sehingga sirkulasi udara bebas keluar masuk.
Istana Basa Pagaruyung berdiri kokoh dengan 72 tiang penopang. Bagian dalam interior Istana didominasi dengan kayu-kayu mengkilap. Ornamen-ornamen kayu nampak menghiasi bagian dalam Istano. Material kayu ini dihias dengan 60 ukiran yang menjelaskan filosofi dan budaya Minangkabau.
Jika diamati lebih detail, rupanya tiang-tiang di Istana Basa Pagaruyung tidak berdiri tegak. Tiang tersebut miring kekiri dan ada pula yang miring ke kanan. Hal ini berfungsi agar bangunan bersahabat dengan alam. Tiang di Istana Basa Pagaruyung bisa menahan gempa dan hantaman angin kencang.
Dari sekian banyaknya tiang, ada 1 tiang yang menonjol berwarna kuning. Tiang itu rupanya tiang utama di rumah gadang ini. Tiang itu disebut tonggak tuo. Kayunya dicari yang paling tua, di negeri tertua Minangkabau yaitu di Pariangan, Kecamatan Pariangan, kab. Tanah Datar. Pariangan dijuluki desa terindah dunia dan hanya berjarak sekitar 12 Km dari kota Batusangkar.
Bangunan bekas peninggalan Kerajaan Pagaruyung ini semakin menawan dengan kain-kain yang menjuntai di dinding-dindingnya. Kain tersebut merupakan kain adat, atau biasa disebut langit-langiy. Ada tiga warna yang paling menonjol dari warna kain yang ada yaitu merah, hitam dan kuning. Ketiga warna itu merupakan warna khas Minangkabau yang sering disebut warna marawa. Rumah panggung besar ini dulunya ditempati oleh Bundo Kanduang, Raja beserta anggota keluarga kerajaan.
Bangunan ini memiliki tiga lantai dimana setiap lantai punya fungsi masing-masing. Lantai pertama disebut juga singasana, merupakan tempat Bundo Kandusng melihat-lihat siapa yang datang. Bundo juga yang mengatur makanan yang diberikan untuk tamu dan mengatur tempat duduk tamu sesuai kepentingan dan dari mana ia berasal.
Lantai kedua, di sini seseorang yang akan dijadikan Bundo Kanduang akan dilantik secara agama, adat dan ilmu khusus untuk meneruskan tradisi yang sudah ada. Sedangkan di lantai 3 merupakan tempat yang tertinggi, tempat pusaka diturunkan yang berarti tempatnya seorang raja akan dilantik dan diberi ilmu.
Dalam istana ini juga terdapat sejumlah koleksi senjata pusaka asli kerajaan yang masih tersisa, di antaranya tombak, pedang, dan senapan peninggalan Belanda. Selain itu, wisatawan juga bisa melihat secara langsung 100 replika furnitur dan artefak antik khas Minang.
Pengunjung juga dapat menjajal baju adat khas Minangkabau yang menawan. Rasanya seolah menjadi raja dan permaisuri atau baju seorang datuk dan bundo kanduang yang dilengkapi dengan tongkat, keris, saluak serta suntiang di kepala.
Museum Istano Basa Pagaruyung yang kini berdiri kokoh adalah sebuah replika istana kerajaan. Istana ini tidak dibangun pada situs aslinya tetapi berpindah arah ke selatan dari situs aslinya. Istana yang asli beberapa kali hangus dilahap si jago merah. Tercatat sudah tiga kali, sejak 1804, 1966 dan yang terakhir pada 2007.
Meskipun demikian istano Pagaruyung sudah menjadi ikon Minangkabau dan sudah menjadi destinasi wisata budaya dan sejarah. Istano ini juga sebuah museum yang menyimpan sebuah peradaban dan sejarah manusia yang pernah tercatat dalam gelombang gelombang peradaban manusia. Jika museum ini dikunjungi, tentu dapat menambah wawasan kita tentang masa lalu. Itulah fungsi museum salah satunya. (*)