Opini: Ahmad Rizal Caniago. (Peneliti dan akademisi)
Momen kampanye pileg tahun 2024 ini sedang berlangsung dan akan berakhir pada tgl 10 Februari 2024. Kemudian masa tenang dan tgl 14 Februari pemungutan suara. Selama ini kampanye merupakan sebuah ajang show of force bagi caleg untuk bersosialisasi, menebar janji dan tebar pesona, menarik simpati publik agar mau memilihnya, sarana hiburan rakyat, dan lain sebagainya. Tapi, pada kampanye pileg 2024 ini mengapa banyak caleg yang “ngerem” alias menahan diri untuk jor joran?
Dari beberapa pengamatan dan wawancara dengan berbagai caleg dapat diperoleh informasi bahwa ada beberapa alasan mengapa caleg tidak jor joran alias ngerem dan bahkan cenderung berserah diri.
Pertama, kondisi ekonomi yang sedang menurun. Tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi ekonomi negara secara umum sedang lesu. Daya beli masyarakat menurun. Harga kebutuhan hidup semakin mahal. Tentu setiap pengeluaran harus dihitung seefektif mungkin. Termasuk bagi caleg, setiap biaya kampanye yang dikeluarkan harus dihitung dan diukur efektivitasnya.
Kedua, trauma masa lalu. Pengalaman kampanye masa lalu (bagi yang gagal namun terlanjur jor joran) pada pemilu sebelumnya membuat caleg kaya pengalaman dan informasi. Dulu, ketika joran menabur uang, suara tidak juga diperoleh. Tentu cerita ini akan disampaikan kepada banyak orang. Jadi, jor joran pun dalam menabur uang kepada konstituen tidak berkorelasi positif dengan perolehan suara. Kini, lebih baik ngerem saja.
Ketiga, sikap masyarakat kita yang tidak komitmen. Artinya, masyarakat kita masih banyak yang bersikap seenaknya kepada caleg ketika masa kampanye. Minta uang, minta fasilitas, minta baju, minta bantuan yang macam macam. Namun ketika tiba saatnya memilih, mereka banyak yang tidak datang ke TPS dengan berbagai alasan yang dicari cari. Maunya masyarakat menerima tanpa mau bekerja membantu dan berkomitmen dengan caleg.
Keempat, aturan kampanye yang semakin ketat. Pemerintah melalui KPU dan Bawaslu semakin memperketat aturan kampanye. Jika caleg melanggar aturan yang sudah ditetapkan bisa diproses. Caleg tidak bisa bebas membagikan APK, logistik dan membuat keramaian. Harus ada STTP, diawasi polisi dan Bawaslu, dan sebagainya. Caleg banyak yang malas mengurus STTP meskipun ada LO partai masing masing.
Kelima, permainan tim sukses. Mungkin bagi segelintir caleg yang tajir dan memiliki cukup logistik, mereka menyiapkan banyak uang untuk kampanye, tapi digelapkan atau diselewengkan oleh tim sukses. Tim sukses harus sukses terlebih dahulu sebelum calegnya sukses. Tim hanya menabur janji di lapangan kepada konstituen.
Menurut pakar komunikasi politik, misalnya Sasmita (2020) mengatakan, tim sukses mutlak diperlukan untuk kerjasama politik karena seorang caleg tidak bisa bekerja sendiri. Berbagai jenis tim sukses harus disebar apakah untuk branding, IT, mata mata, penggalangan masa, dll.
Keenam, pengaruh konsultan politik. Kehadiran konsultan politik untuk pileg dan pilkada membuat para kandidat cenderung percaya kepada konsultan. Caleg sebagian besar terlalu percaya kepada apa yang diarahkan konsultan meskipun belum tentu semuanya benar. Caleg tidak mau pusing sehingga banyak pekerjaan diberikan saja kepada konsultan politik yang mereka pakai.
Seluruh pengeluaran diatur seketat mungkin oleh konsultan. Jika tidak efektif menurut mereka, tidak perlu dibiayai. Caleg adalah mainan konsultan. Jika caleg sukses, konsultan terima uang banyak. Namun jika gagal pun tetap terima uang walaupun tidak sebanyak kalau memang.
Melihat fakta fakta seperti itu, pesta demokrasi sepertinya sudah berubah. Yang menikmati pesta hanya konsultan dan segelintir tim sukses. Masyarakat hanya menjadi objek politik yang dieksploitasi setiap lima tahun sekali. Partisipasi pemilih tidak juga meningkat signifikan karena masyarakat cenderung apatis.
Jadi, baik caleg maupun masyarakat sama sama harus memperbaiki diri dan merubah mindset politik mereka. Politik itu sebenarnya tidak jahat tetapi pelaku politik lah yang membuatnya jahat dan sadis. Politik itu bersih tapi pelaku politik lah yang membuatnya kotor.
Terkait dengan judul tulisan ini, mengapa caleg terkesan pelit dan ngerem, karena perilaku politik kita belum baik. Mindset atau acara berfikir kita belum seimbang. Caleg bukanlah sapi perahan, masyarakat pun bukanlah objek politik saja. (*)