Opini  

Menganalisa Gelar Perkara Terkait Laporan Pejabat di Polres Tanah Datar yang Berpotensi Cacat Hukum

Opini Oleh: Muhammad Intania, SH
(Advokat & Pengamat Sosial Politik)

Ada 3 (tiga) Laporan Pengaduan oleh M. Intania, SH selaku Kuasa Hukum dari Purnama Olivvita tertanggal 10 November 2023 yang masih dalam proses oleh Polres Tanah Datar. Bagaimana tindak lanjut laporan pengaduan tersebut hingga saat ini?

Untuk menyegarkan ingatan netizen Luhak Nan Tuo baik di kampung halaman maupun di perantauan, 3 Laporan Pengaduan tersebut adalah dugaan tindak pidana penyerobotan lahan dan dugaan pembuatan serta penyebaran berita hoaks melalui media sosial dan dugaan melakukan pencemaran nama baik yang diduga dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Tanah Datar c/q Bupati Tanah Datar Eka Putra, SE, MM, serta dugaan memasuki lahan tanpa ijin pemilik dan kuasa hukumnya serta dugaan penghasutan yang diduga dilakukan oleh Kepala Satpol PP & Pemadam Kebakaran, Harfian Fikri, S.Sos.

Alhasil, pada Rabu, 27 Desember 2023 diadakan Gelar Perkara atas tindak lanjut Penyelidik dalam memproses perkara tersebut. Walau terkesan lama dibanding proses pelaporan dan naik lidik atas kasus yang ditimpakan kepada Kuasa Hukum dan Kliennya yang dalam waktu 1 hari langsung naik status ke tahap penyidikan, perlakuan berbeda justru diterapkan Penyidik atas 3 laporan dugaan pidana atas terlapor Bupati Tanah Datar Eka Putra, SE, MM dan Kasatpol PP & Pemadam Kebakaran Tanah Datar, Harfian Fikri, S.Sos.

Gelar Perkara menurut Pasal 1 angka 24 Perkapolri No. 6 Tahun 2019 adalah kegiatan penyampaian penjelasan tentang proses penyelidikan dan penyidikan oleh Penyidik kepada peserta gelar dan dilanjutkan diskusi kelompok untuk mendapatkan tanggapan / masukan / koreksi guna menghasilkan rekomendasi untuk menentukan tindak lanjut proses penyelidikan dan penyidikan.

Dikutip dari situs hukumonline.com bertajuk Gelar Perkara Bagian dari Sistem Peradilan tanggal 28 Februari 2011, Frans Hendra Winarta, seorang advokat senior memandang gelar perkara adalah bagian dari proses dan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Secara formal, gelar perkara dilakukan oleh penyidik dengan menghadirkan pihak pelapor dan terlapor. Jika tidak menghadirkan pelapor dan terlapor maka gelar perkara yang dilakukan, dapat CACAT HUKUM.

Baca Juga :  Mengapa Masyarakat Melanggar Lalu Lintas: Sebuah Perspektif Sosiologi Hukum

Lebih lanjut Frans menjelaskan, gelar perkara atau biasa disebut dengan ekspos perkara juga harus dihadiri langsung oleh pihak pelapor dan terlapor. Tak boleh diwakilkan oleh pihak lain. Selain itu, masih menurut Frans, gelar perkara juga mesti dihadiri ahli yang independen, kredibel, dan tidak memiliki catatan hukum. “Dari gelar perkara yang menghadirkan pelapor, terlapor dan juga saksi ahli maka diharapkan dihasilkan kejelasan perkara,” ujarnya.

Fakta yang kami temui pada saat Gelar Perkara di Ruang Kasat Reskrim Polres Tanah Datar pada hari Rabu, 27 Desember 2023 dapat disampaikan sebagai berikut:

  1. Bahwa BELUM ADA DILAKUKAN PEMERIKSAAN / PENGAMBILAN KETERANGAN terlapor atas nama Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Datar c/q Bupati Tanah Datar, Eka Putra, SE, MM.
  2. Bahwa Terlapor Bupati Eka Putra, SE, MM dan terlapor Harfian Fikri, S.Sos juga TIDAK HADIR (entah karena alasan apa, tidak diketahui).
  3. Bahwa selama Gelar Perkara TIDAK ADA didengar keterangan ahli sehingga patut diduga maksud diskusi kelompok untuk mendapatkan tanggapan / masukan / koreksi guna menghasilkan rekomendasi tidak tercapai secara maksimal dan cenderung terjadi cacat prosedur.

Maka dengan demikian dapat kami simpulkan hal hal sebagai berikut:

a). Bahwa dengan tidak hadirnya terlapor, maka patut diduga Penyidik cenderung memaparkan keterangan saksi dari pihak terlapor sehingga patut diduga penyidik melebihi kewenangannya seolah menjadi “perpanjangan tangan” terlapor untuk memaparkan alibi alibi versi terlapor.

b). Bahwa tujuan gelar perkara adalah untuk menentukan apakah ADA TINDAK PIDANA ATAU BUKAN, tentu saja berdasarkan minimal 2 (dua) alat bukti. Bukan secara sepihak menggiring opini kepada topik lain mengenai klaim kepemilikan lahan, menilai dokumen pendukung, dll.

c). Bahwa klaim kepemilikan dan dokumen pendukung itu harusnya menjadi domain pengadilan, bukan domain penyidik. Bahwa penyidik hanya perlu membuktikan dengan fakta dan analisa yuridis apakah laporan pengaduan dugaan pidana tersebut memang ada unsur pidana atau tidaknya yang semestinya harus dibahas bersama sama.

Baca Juga :  Potensi "Tiga Serangkai" Tanah Datar Kedepan: DPR RI, DPD RI dan Gubernur Sumbar

d) Bahwa Penyidik tidak bisa menunjukkan (memperlihatkan) dokumen dokumen terlapor kepada pelapor untuk membuktikan bahwa benar adanya dokumen dokumen tersebut. Pengujian atas keabsahan dokumen dokumen tersebut dapat diuji nantinya di pengadilan. Maka penerapan slogan Polri PRESISI (Prediktif, Responsibilitas dan TRANSPARANSI berkeadilan) menjadi patut dipertanyakan dalam penanganan perkara ini.

e). Bahwa dengan tidak dilakukan pengambilan keterangan terlapor Bupati Eka Putra, SE, MM, dan tidak hadir (tidak dihadirkan) para terlapor serta tidak adanya keterangan ahli, maka patut diduga ada “salah prosedur” dan “kepentingan politis” dengan mengenyampingkan pemanggilan terlapor melalui ijin ke Menteri Dalam Negeri, sehingga tidak diperoleh kejelasan duduk perkara dan berpotensi terjadinya cacat prosedur / cacat hukum.

Diungkapkan oleh Frans Hendra Winarta. “Jika gelar perkara yang dilakukan tidak sesuai prosedur, dilakukan dengan sengaja, terhadap yang menangani masalah tersebut dapat dikategorikan melakukan contempt of court.”

Kami tentu berharap penyidik di Polres Tanah Datar professional menangani perkara ini sehingga terhindar dari penerapan standar ganda, terhindar dari rekayasa dan kepentingan politis serta senantiasa menerapkan prinsip equlity before the law dan tidak melebihi kewenangannya yang bisa berpotensi terjadi abuse of power.
Adalah janggal jika terlapor tidak dimintai keterangan, tidak dihadirkan terlapor dan tidak ada keterangan ahli terkait dalam gelar perkara, namun kemudian gelar perkara diadakan dengan kesimpulan akhir bahwa perkara dihentikan.

Agaknya kita semua perlu berpedoman kepada Peraturan Kepolisian No. 7 Tahun 2022 Tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia pada Pasal 5 Ayat 1 butir c, dan Pasal 7 butir b dan c agar terhindar dari penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran kode etik.

Bahwa Republik Indonesia adalah Negara hukum, bukan Negara kekuasaan. Maka penghargaan untuk penegakan hukum adalah prioritas utama. Walau diduga ada upaya “intervensi terselubung” sekalipun, namun transparansi (keterbukaan) pelaksanaan hukum dan profesionalisme para penegak hukum adalah hal yang krusial.

Baca Juga :  Menyikapi Dugaan Gratifikasi di Lingkar "Penguasa" Tanah Datar, Apa Solusinya?

Agaknya pepatah Minang satu ini cukup relevan bagi penegak hukum dalam penyelesaian kasus ini: “Maukua samo panjang, mambilai samo laweh”. Namun bila merasa terperangkap dengan aneka kepentingan diluar penegakkan hukum, maka inspirasi dari tokoh Sufi Jalaluddin Rumi ini agaknya relevan dengan penangganan perkara ini:”salah satu keajaiban dunia adalah melihat jiwa yang terpenjara dengan kunci ditangannya.”

Ingat, bupati, gubernur, Mentri, dan ragam pejabat lainnya hanya manusia biasa yang kebetulan sedang menjabat. Namun hukum tetap memandangnya sama. Sekali lagi, prinsip equality before the law harus sama.