Opini  

Dibalik Perda RTRW Tanah Datar 2022-2042: Siapa Untung, Siapa “Buntung?”

Opini Oleh: Muhammad Intania, SH
Sekretaris LBH Pusako

DPRD Kabupaten Tanah Datar telah mengelar Rapat Paripurna (RP) Pengambilan Keputusan DPRD terhadap Ranperda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Tanah Datar Tahun 2022 – 2042 pada hari Jum’at, 24 Juni 2022.

Isu tentang Ranperda RTRW ini telah menjadi perhatian dan sorotan publik karena ada yang pro dan kontra untuk dapat dijadikan Peraturan Daerah (Perda) dalam kondisi masih ada hal krusial yang belum tuntas diselesaikan terlebih dahulu.

Tim LBH Pusako turut memberikan perhatian dan kajian atas proses RTRW tersebut dan turut andil memberikan informasi kepada publik sebagai wujud kontribusi aktif kami kepada Tanah Datar, sekaligus untuk memberikan pencerahan tambahan dari sudut pandang kami kepada publik Tanah Datar baik di Salingka Luak Nan Tuo maupun yang diperantauan.

Tulisan ini kami rangkum dari beragam narasumber. Bagaimana pandangan akhirnya? Silahkan simak tulisan ini sampai akhir dan dicerna dengan akal sehat serta objektif agar publik tidak gagal paham.

Sebelummya Tim LBH Pusako menyampaikan apresiasi kepada rekan rekan jurnalis yang telah mempublikasikan perkembangan dan dinamika yang terjadi di DPRD Tanah Datar. Kami juga menyampaikan apresiasi kepada para narasumber yang sudah “semakin terbuka” dan “tidak alergi lagi” memberikan akses informasi publik. Sesungguhnya keterbukaan informasi publik itu akan memberi keuntungan kepada segenap stake holder baik di jajaran eksekutif maupun di jajaran legislatif dan bagi publik Tanah Datar itu sendiri.

Mari kita ambil intisari Laporan Hasil Pembicaraan Tingkat Pertama (dalam alinea kedua disebutkan: Pembicaraan Tingkat Kedua) DPRD Kab. Tanah Datar terhadap Ranperda tentang RTRW Kab. Tanah Datar Tahun 2022-2042 sebagai berikut:

  1. 2 Fraksi (F. Nasdem dan F. PAN) menolak Ranperda RTRW menjadi Perda RTRW.
  2. 4 Fraksi (F. Perjuangan Golkar, F. PKS, dan F. PPP, serta F. Hanura) menerima dengan catatan.
  3. 2 Fraksi (F. Demokrat dan F. Gerindra menerima dan menyetujui.

Publik yang cerdas sudah bisa menangkap bahwa partai pendukung Era Baru (Demokrat dan Gerindra) LANGSUNG MENERIMA TANPA ADA CATATAN. Makna lainnya bahwa anggota fraksi tersebut menganggap bahwa ranperda RTRW tersebut sudah sempurna dan tidak perlu diberikan catatan lain lain. Dengan kata lain bahwa persoalan tapal batas yang belum kelar bukan dianggap sebuah cacat yang mengurangi kesempurnaan produk ? Wallahualam.

  1. F. Nasdem MENOLAK dengan pertimbangan (namun tidak dituliskan dalam Laporan Hasil Pembicaraan) : persoalan tapal batas yang sampai saat ini belum tuntas. Dengan demikian Ranperda cacat hukum, karena tidak memenuhi (syarat) secara formil. Karena dasar administrasi daerah Kabupaten Tanah Datar “dicaplok” lebih kurang 350 hektar oleh Kabupaten Solok.
  2. F. PAN MENOLAK dengan pertimbangan (namun tidak dituliskan dalam Laporan Hasil Pembicaraan) : karena belum dibatalkannya Berita Acara Kesepakatan nomor 03A/BAD/2021 tanggal 01 Oktober 2021 tentang tapal batas wilayah Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Solok. Juga atas pertimbangan surat Wali Nagari Simawang nomor 140/71/WNS/X-2021 tentang permohonan peninjauan kembali penetapan kembali garis batas antara nagari Simawang, Tanah Datar dengan Bukik Kanduang, Kabupaten Solok.

Tim LBH Pusako merasa heran kenapa alasan penolakan dari F. Nasdem dan F. PAN tidak dimuatkan oleh sekretariat dewan sehingga tidak terbacakan di dalam Laporan Hasil Pembicaraan (LHP) Tingkat Pertama tersebut.

Tim LBH Pusako juga melihat ada kesalahan redaksional dalam LHP Tingkat Pertama karena pada alinea kedua tertulis: “… Sidang Paripurna Dewan (Pembicaraan Tingkat Kedua) …” Jadi yang benar yang mana? Tingkat Pertama atau Tingkat Kedua? Sementara alasan “menerima dengan cacatan” malah dituliskan pendapatnya.

  1. F. Perjuangan Golkar MENERIMA DENGAN CATATAN: Pemerintah Daerah harus segera menuntaskan persoalan Tapal Batas di wilayah Kabupaten Tanah Datar.
  2. F. PKS MENERIMA DENGAN CATATAN:
    1). Adanya komitmen yang nyata dari Kepala Daerah untuk menyelesaikan persoalan batas wilayah Kabupaten Tanah Datar dengan Kabupaten tetangga terutama batas Tanah Datar dengan segmen Nagari Tanjung Bonai dengan Kecamatan Kampar Kiri / Lipek Kain Kabupaten Kampar, Batas Kabupaten Tanah Datar segmen Nagari Simawang dengan Nagari Bukik Kanduang Kabupaten Solok dan Batas Kabupaten Tanah Datar dengan Kabupaten / Kota lainnya dalam waktu yang tidak terlalu lama agar tidak terjadi hal hal yang tidak diinginkan di kemudian hari nanti.
Baca Juga :  Jika Bupati Kurang Atensi Selesaikan Masalah Kesehatan, Sanksi Hukum Menunggu, Ini Aturannya!

Bupati memastikan pembatalan berita acara kesepakatan antara Kabupaten Tanah Datar dengan Kabupaten Solok yang ditandatangani tanggal 01 Oktober 2021 dengan melampirkan surat dari Bupati kepada Kemendagri.

3) F. PPP MENERIMA DENGAN CATATAN:
1). Diminta kepada Pemerintah Daerah untuk serius menyelesaikan masalah tapal batas Kabupaten Tanah Datar dengan Kabupaten tetangga terutama batas Kabupaten Tanah Datar dengan segmen Nagari Tanjung Bonai dengan Kecamatan Kampar Kiri / Lipek Kain Kabupaten Kampar, Batas Kabupaten Tanah Datar dengan segmen Nagari Simawang dengan Nagari Bukik Kanduang Kabupaten Solok dan Batas Kabupaten Tanah Datar dengan Kabupaten / Kota lainnya dalam waktu yang tidak terlalu lama agar tidak terjadi hal hal yang tidak diinginkan di kemudian hari nanti.

2). Dari catatan tersebut agar sesegera mungkin ditindaklanjuti setelah Ranperda RTRW Kabupaten Tanah Datar Tahun ini disahkan.

4) F. Hanura MENERIMA DENGAN CATATAN: Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Datar segera meninjau ulang kembali batas wilayah Kabupaten Tanah Datar dengan Kabupaten Solok dan Lipek Kain Provinsi Riau.

Persoalan MENERIMA ataupun MENOLAK bukan persoalan mana yang BENAR mana yang SALAH. Semuanya adalah benar dalam koridor dinamika berdemokrasi. Tinggal kita kembalikan saja kepada semangat dan latar belakang serta moral para pengambil keputusan di fraksi masing masing.

Masing masing fraksi memiliki pertimbangan dan kepentingan politik sendiri sendiri. Hanya publik yang paham lah yang bisa memahami apa maksud setiap fraksi mengambil keputusan “menerima” atau “menolak” atau “menerima dengan catatan” tersebut.

Menurut kajian kami, pertimbangan penolakan yang disampaikan oleh Fraksi Nasdem dan Fraksi PAN adalah sangat beralasan hukum dan penuh rasa tanggung jawab moral untuk kepastian nasib penyelesaian tapal batas dan potensi kehilangan wilayah Simawang sekitar 337 hektar (3.370.000 meter persegi) tersebut.

Kami memandang Fraksi Nasdem dan Fraksi PAN lebih arif dan visioner menyikapi persoalan tapal batas ini. Dengan arti kata lain, kenapa buru buru membahas RTRW 2022-2042 karena masih ada hal krusial yang belum tuntas. Selesaikan dulu masalah tapal batas. Kalau tapal batas selesai, otomatis pasti sangat didukung oleh Fraksi Nasdem dan Fraksi PAN tersebut.

Sikap Fraksi tersebut mungkin juga disebabkan karena Pemerintah Daerah belum sanggup memberikan jaminan kepastian waktu penyelesaian masalah tapal batas tersebut. Sebuah sikap yang wajar bagi pihak yang mengerti hukum dan tanggung jawab terhadap produk hukum yang akan dihasilkan nanti.

Namun demikian, kami juga memandang positif sikap yang agak lebih fleksibel yang ditunjukkan oleh F. Perjuangan Golkar, F. PKS, dan F. PPP serta F. Hanura yang mengambil sikap “menerima dengan catatan” yang jika kita rekap catatannya tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Menerima, asal segera menuntaskan masalah tapal batas (F. Perjuangan Golkar),
  2. Menerima, asal ada komitmen untuk diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama, agar tidak timbul hal hal yang tidak diinginkan nantinya (F. PKS dan F. PPP),
  3. Menerima, asal Bupati memastikan pembatalan Berita Acara Kesepakatan tertanggal 01 Oktober 2021 (F. PKS),
  4. Menerima, asal meninjau ulang kembali batas wilayah (F. Hanura).

Walaupun “catatan” tersebut tidak memberikan tenggat waktu penyelesaian yang terukur (misalnya harus diselesaikan dalam tempo 3 bulan setelah disahkan menjadi Perda RTRW), maka “catatan” tersebut akan memberi peluang blunder bagi ke 4 fraksi tersebut dimata publik bilamana “catatan” tersebut tidak kunjung dilaksanakan oleh Eksekutif. Publik akan mengingat dan mengangkat isu ini kembali bila ke 4 fraksi tersebut lupa / melupakan “catatan” yang dibuatnya sendiri.

Ke 4 fraksi tersebut ibarat membuka pin pemicu “bom waktu” bagi fraksinya masing masing di mata publik. Bilamana Perda RTRW telah disahkan, namun “catatan” tak kunjung diselesaikan oleh Pemkab TD, mau ditaruh dimana marwah fraksi tersebut? Untuk mencabut / membatalkan lagi tentu tidak mungkin / berat dan lama prosesnya. Belum lagi sanksi moral yang akan distempel oleh publik kepada ke 4 fraksi tersebut.

Baca Juga :  Menilai Kepatuhan Hukum Masyarakat Indonesia: Sudah Tercapai atau Masih Berkembang?

Maka kami merasa tepat dengan langkah arif dan cerdas yang ditempuh oleh Fraksi Nasdem dan Fraksi PAN. Mari selesaikan dulu masalah tapal batas, baru kita bahas tentang RTRW. Tidak usah buru buru karena akan prematur hasilnya. Dan kenapa harus buru buru? Untuk kepentingan siapa RTRW ini? Sementara ada “cacatan krusial” yang dikesampingkan.

Ada pendapat publik yang mengatakan bahwa sikap penolakan sama saja dengan sikap menghambat rencana tata ruang baru, atau dianggap menghambat pembangunan atau tidak pro pembangunan, hehehe. Kami justru memandang lain, karena sikap yang diambil Fraksi Nasdem dan Fraksi PAN adalah suatu wujud kehati-hatian dan wujud tanggung jawab moral kepada publik bahwa apabila suatu produk hukum yang akan disahkan itu ada potensi cacat, maka produk hukumnya tidak akan sempurna dan berpotensi menimbulkan masalah baru dikemudian hari.

Maka jika potensi masalah itu meletus dikemudian hari, maka Fraksi Nasdem dan Fraksi PAN berada dalam posisi aman karena sudah menunjukkan posisi yang jelas menolak dari awal. Menolak ranperda RTRW yang tidak sempurna, bukan berarti menolak rencana pembangunan.

Kami memandang F Nasdem dan F PAN adalah fraksi yang visioner dalam hal ini. Alun takilek, alah tabayang kejadian yang akan tibo. Tipikal fraksi yang tidak berprinsip, “apo nan ka tibo, nanti lah kito pikirkan”, tetapi sudah memikirkan jauh kedepan kemungkinan apa yang akan terjadi nantinya.

Indikasi kehati hatian yang diambil F. Nasdem dan F. PAN tersebut cukup beralasan karena sampai tanggal 28 Juni 2022 belum ada terlihat alat berat di perbatasan Simawang untuk memulai kegiatan pembuatan jalan yang dijanjikan. Setidaknya untuk mengingatkan bahwa segala sesuatu yng akan diperbuat itu harus berdasarkan estimasi waktu yang terukur.

Disisi lain ada juga pendapat publik, demi untuk kepentingan umum, maka kepentingan khusus terkait masalah tapal batas perlu dikesampingkan dulu. Bahasa kerennya, kita harus dahulukan kepentingan masyarakat banyak daripada kepentingan segelintir golongan masyarakat, namun disisi lain juga tidak menganggap kecil kepentingan segolongan masyarakat di Simawang khususnya.

Makna lainnya, mari percepat mengerjakan pengesahan RTRW ini, masalah tapal batas dengan Kabupaten Solok dan Lipat Kain Provinsi Riau dan Kabupaten / Kota lainnya dikerjakan terpisah aja nanti.

Terus jaminan penyelesaiannya apa? Tugas DPRD Tanah Datar lah yang harus menagihnya kepada Pemkab Tanah Datar. Publik hanya akan mengingatkan kembali kedua intansi tersebut. Kalau tidak ada jaminan, justru wakil rakyat yang mendukung Ranperda RTRW ini menjadi Perda RTRW ini yang akan “tersandera” ditagih tagih publik, hehehe.

Kesimpulan dan Saran

Tanpa bermaksud mengurui para para tokoh masyarakat cerdas yang cenderung mengambil sikap diam dan tidak mau berbagi kontribusi pemikiran serta juga tanpa bermaksud mengajari para pengambil keputusan (jajaran Pemkab TD dan anggota DPRD TD), maka perkenankan kami memberikan kesimpulan dan saran. Hal ini juga untuk menjawab saran publik agar jangan “mancikaroi” sajo, tapi berikan juga saran dan solusi untuk menambah wawasan publik dan para stake holder, hehehe.

Kesimpulan dan saran kami sebagai berikut:

  1. Ada kekhawatiran bahwa kalau Ranperda RTRW jika tidak disahkan menjadi Perda, maka Pemkab TD bisa saja mengeluarkan produk hukum berupa Peraturan Bupati (Perbup) tentang RTRW.

Pandangan kami, silahkan saja jika hal itu terjadi, maka Pemkab TD akan “jalan sendiri” tanpa dapat dukungan DPRD TD. Artinya jika terjadi apa apa atas produk hukum Perbup yang “ada catatannya” itu dalam pelaksanaannya dilapangan, maka itu akan menjadi tanggung jawab penuh pihak Pemerintah. DPRD bisa lepas tangan dan akan memakai hak hak yang dimilikinya.

  1. Secara hukum, dibolehkan saja membuat sebuah produk hukum yang menyangkut masyarakat banyak, tapi ada pengecualian pengecualian khusus didalamnya terhadap subjek hukum tertentu (masyarakat / golongan tertentu). Tentu juga harus dengan alasan alasan tertentu yang dibenarkan oleh ketentuan yang lebih tinggi. Dengan demikian tentu harus ada “perlakuan khusus” / privilege kepada masyarakat / golongan tertentu tersebut. Bukan berarti dikesampingkan / ditinggalkan / dilupakan, justru harus diperhatikan secara khusus.
  2. Mengutamakan kepentingan umum memang harus dikedepankan dibandingkan mengutamakan kepentingan golongan. Tapi tidak boleh melakukan diskriminasi dan tetap harus menjamin hak hak dasar masyarakat serta harus diperlakukan sama di mata hukum. Untuk itu pemerintah dan DPRD yang memberikan “pengecualian” tersebut harus memberikan kepastian hukum kepada golongan masyarakat yang dikecualikan tersebut. Setidaknya menyampaikan dengan jelas estimasi tanggal, bulan dan tahun hak masyarakat itu didapatkan kembali layaknya masyarakat umum lainnya. Jangan memberi PHP tanpa kejelasan waktu.
Baca Juga :  Birokrasi Era Digital: Memanfaatkan Teknologi untuk Meningkatkan Kinerja Pelayanan Publik

Oleh karena itu, golongan masyarakat yang dikecualikan tersebut sebaiknya meminta “jaminan tertulis” dari Pemkab TD dan DPRD TD.

  1. Pemkab Tanah Datar harus bisa menetapkan skala prioritas, mana yang penting dan mana yang harus disegerakan pengerjaannya.
  2. Disarankan Pemkab Tanah Datar agar segera membentuk tim khusus untuk menindaklanjuti “catatan catatan DPRD” berbasis tenggat waktu penyelesaian yang jelas dan terukur.

“Atau bisa saja memaksimalkan keberadaan TP2KP2. Kalau itu dilakukan, maka bisa dibuatkan perubahan SK Bupati untuk kesekian kalinya” saran Wan Labai yang tersenyum simpul.

  1. Diketahui Pemkab dan DPRD TD sudah menindaklanjuti upaya menyelesaikan tapal batas dengan mengadakan kunjungan dan audiensi ke rumah Kepala Desa Kuntu Kecamatan Kampar Kiri Kabupaten Kampar dan ke Kantor Camat Kampar Kiri pada 28-29 Juni 2022. Belum diketahui publik usaha usaha Pemkab TD berupa pembahasan G to G (Government to Government) antara Bupati dengan Bupati ataupun antara DPRD Kabupaten TD dengan DPRD Kabupaten Solok misalnya. Entah dirasa belum perlu, wallahualam.
  2. Baik Pemkab TD dan DPRD TD harus membiasakan diri untuk merencanakan sesuatu dengan jelas dan terukur estimasi waktu pengerjaannya. Instansi yang berkualitas adalah instansi yang mampu merencanakan target pencapaian yang terukur waktu dan jumlah SDM serta biayanya. Dengan demikian akan hemat belanja APBD. Kecuali kalau memang ingin mengunakan kesempatan tersebut untuk mendapatkan tambahan uang masuk yang “dilegalkan” hehehe.
  3. Baik Pemkab TD maupun DPRD TD punya tanggung jawab moril kepada masyarakat terdampak di Nagari Tanjung Bonai dan Nagari Simawang pada khususnya serta tanggung jawab moril kepada publik Tanah Datar pada umumnya. Oleh karena itu harus merubah sikap kepada publik untuk selalu mempublikasi perkembangan kerjanya agar tidak dinilai tidak bekerja dan tidak sungguh sungguh menyelesaikan tanggung jawab publiknya.
  4. Dalam pembahasan tentang kerangka Ranperda, tidak ditemukan pola ruang wilayah kabupaten tentang Kawasan Hutan Adat. Bukankah DPRD sedang membahas ranperda inisiatif tentang Hutan Adat? Apakah Hutan Adat juga dikecualikan dalam RTRW? Atau lupa sama sekali? Hitung hitung kami yang awam ini mengingatkan para wakil kami yang terhormat.
  5. Diperlukan peran serta / partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2011 yang telah diubah melalui UU Nomor 15 Tahun 2019 dan perubahan kedua melalui UU Nomor 13 Tahun 2022

Apakah selama ini di DPRD Tanah Datar sebuah rancangan peraturan dibuat oleh Staf Ahli? Sehingga merasa tidak perlu lagi melibatkan peran serta masyarakat? Engga tahu deh, soalnya informasi publik di DPRD Tanah Datar agak repot mendapatkannya dan dirasa masih minim.

Demikian dulu tulisan kami kali ini. Kalau ada publik atau anggota dewan yang bilang bahwa kami ini hanya bisanya teori teori dan kritik saja, maka kami tantang untuk memberikan tugas / pekerjaan kepada kami. Jasa professional kami mau dibayar berapa?

Selamat memproses Ranperda RTRW menjadi Perda RTRW. Publik Tanah Datar tak sabar menunggu kualitas produk hukum yang sensasional dan kontroversial ini. (*)