Cerita Budug Basu di Kalangan Keraton Cirebon

Oleh: Nadia Nasmita Ramadan (Mahasiswi Jurusan Sastra Minangkabau Universitas Andalas)

Cerita rakyat adalah cerita yang dipercaya oleh masyarakat setempat dimana cerita itu berasal dari masyarakat itu sendiri. Cerita Budug Basu di Kalangan Keraton Cirebon dapat ditinjau dari perspektif folklor dikelompokkan ke dalam mitos atau mite. Mite adalah cerita prosa rakyat yang dipercaya ada akan cerita yang berkembang dan dianggap suci oleh masyarakat yang punya cerita tersebut. Mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk dengan wujud setengah dewa. Dimana dalam cerita Budug Basu tokoh-tokohnya diperankan oleh manusia (petani), dewa-dewi dan Raksasa.

Sebagian besar latar tempat cerita Budug Basu di Khayangan, yaitu tempat tinggalnya para dewa. Cerita Budug Basu tentang kisah kehidupan masyarakat para petani, seperti asal-usul tumbuhan padi, hama dan irigasi. Masyarakat mempercayai cerita Budug Basu karena adanya bukti seperti adanya kepercayaan terhadap dewi padi yaitu Dewi Sri sebagai asal-usul padi dan Budug Basu sebagai asal-usul dari ikan-ikan yang di laut. Selanjutnya ada yang menyebutkan Budug Basu sebagai hama terhadap tanaman padi. Budug Basu ada juga berkaitan dengan komuniti nelayan.

Cerita Budug Basu dikelompokkan ke dalam Mitos yaitu cerita asal-usul bahan pangan pokok suatu masyarakat di Kalangan Keraton Cirebon. Dalam cerita Budug adalah tanaman padi yang dikisahkan dalam wujud jasad Dewi Sri. Jasad Dewi Sri adalah asal-usul tumbuhan padi. Artinya adalah tumbuhan yang berasal dari jasad seorang Dewi (wanita) yang sudah meninggal. Mitos ini tidak terlepas dari tradisi pemujaan Dewi Sri yang dipercaya sebagai Dewi kesuburan yaitu Dewi tanaman padi yang dipercaya oleh masyarakat Jawa. Tanaman padi dikisahkan berasal dari jasad seorang wanita itu.

Baca Juga :  KKN di Masa New Normal

Cerita Budug Basu merupakan salah satu bentuk dari folklor yaitu Mite. Cerita Budug Basu disampaikan dari mulut dan ke mulut lainnya secara lisan dan ada juga yang tertulis dalam enam naskah kuno yang ditemukan. Naskah-naskah kuno yang telah ditemukan memiliki perbedaan wujud pada teks, yaitu dua naskah berbentuk puisi dan empat naskah lainnya berbentuk prosa.
Cerita Budug Basu tidak hanya terkenal di kalangan para petani saja melainkan ada juga pada Nelayan. Cerita rakyat ini yang menjadikannya menarik adalah dari unsur dunia pertanian yang kental dengan adanya kisah-kisah tentang asal-usul suatu irigasi, hama tanaman padi, dan ular sawah.

Secara umum masyarakat Cirebon terdiri dari petani, pedagang dan nelayan. Cerita Budug Basu tidak pernah hilang dari tradisi pertunjukan yaitu upacara Nadran dan pertunjukan wayang. Upacara Nadran dilakukan di permukiman masyarakat nelayan. Upacara Nadran disebut banyak oleh masyarakat dengan pesta laut dan ada juga dengan menyebut sedekah laut.
Upacara Nadran adalah sebuah komunitas bagi para nelayan di pulau Jawa. Upacara Nadran merupakan sebagai ritual pokok dalam siklus hidup komunitas para nelayan, komunitas para petani mempunyai ritual yang sama dan dilangsungkan seiring dengan siklus kerja pertanian.

Dalam usaha membudidayakan tanaman padi, para petani seutuhnya mempercayai pada hukum alam dari pertumbuhan tanaman padi. Dimana budidaya tanaman padi bertujuan untuk menghasilkan tanaman padi yang berkualitas tinggi dan baik. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan para petani melakukan dan memastikan tanaman padi selalu diperhatikan seperti kondisi tanah, pengairannya, hama dan juga pupuk yang cocok dan kualitas bagus untuk tanaman padi. Jika semua itu berjalan dengan lancar tanpa gangguan dan dijaga sampai masa untuk panen, maka dapat dipastikan hasil tanaman akan memberikan hasil bagus dan memuaskan.

Baca Juga :  BAZNAS Tanah Datar Salurkan Bantuan Pendidikan Senilai Rp.2,6 Milyar untuk Pelajar

Dalam tahap-tahap menjaga tanaman padi itulah diadakan ritual untuk memastikan kelancaran terhadap tanaman padi sampai masa panen. Ritual-ritual tersebut ditujukan pada kekuatan yang supranatural dan arwah-arwah leluhur terdahulu. Dalam komunitas para petani ada tiga macam upacara yang dilakukan dan sangat penting untuk kelancaran terhadap tanaman padi tersebut.

Upacara yang pertama adalah sedekah bumi, dilakukan menjelang datangnya musim hujan yang menandai para petani harus mengolah tanah untuk tanaman padi. Upacara berlangsung pagi hari, masyarakat mengumpulkan makanan yaitu nasi yang merupakan olahan dari tanaman padi mereka sendiri dalam bentuk tumpeng dan dibawa dan disimpan di hadapan panggung pertunjukan wayang.
Kemudian dilaksanakan pertunjukan wayang yang ditujukan untuk memanggil hujan. Setelah pertunjukan selesai, sebagian makanan dikumpulkan dan menjadi jatah perangkat desa dan sebagian lainnya dibawa pulang oleh pembawa makanan untuk dimakan bersama keluarga.

Upacara yang kedua adalah upacara Barikan yang bertujuan untuk mengusir kekuatan supranatural yang menjadi pengganggu dalam bentuk hama terhadap pertumbuhan tanaman padi. Ritual ini disertai dengan pertunjukan wayang Purwa dengan lakon Tulak Tanggul. Selanjutnya masa panen tiba masyarakat melaksanakan upacara Mapag Sri sebagai wujud syukur mereka atas panen yang dihasilkan, disimbolkan untuk penghormatan kepada sang Dewi padi yaitu Dewi Sri. Dalam upacara ini dipertunjukkan lakon Sri Pandawa yang mengisahkan tentang kemenangan suatu kerajaan Astina dan Dewi Sri dalam mengalahkan kerajaan siluman yang berusaha mengganggu usaha rakyat dalam budidaya tanaman padi sawah.

Dalam Upacara Nadran memiliki dua kegiatan yaitu melarungkan sesajen ke tengah-tengah laut serta pertunjukan wayang Budug Basu yang menjadi ruwatan para Nelayan. Para nelayan yang melaksanakan upacara Nadran ini biasanya melakukan makan bersama keluarga, ada yang di perahu di tengah laut setelah melarungkan sasajen tersebut dan ada juga makan bersama di rumah masing-masing.
Upacara Nadran ini dilakukan pagi hari yang diawali dengan pelarungan sasajen di tengah-tengah laut. Sesajen yang dilarungkan banyak macamnya, yang paling utama adalah kepala kerbau. Sekarang ini masyarakat tidak secara khusus mengorbankan kepala kerbau untuk upacara Nadran tetapi utama dan bentuk dari sasajen tersebut adalah kepala kerbau yang menandakan upacara tertua dan masih ada sampai sekarang.

Baca Juga :  Peringati 100 Tahun Pesantren Tanjung Limau, Gubernur dan Bupati Hadir

Kepala kerbau dan semua sasajen yang untuk dilarungkan diletakkan di dalam replika sebuah perahu. Setelah pelarungan sasajen ke tengah-tengah laut, maka dimulailah pentas wayang lakon Budug Basu yang seperti biasa berakhir sampai sore hari. (*)

Print Friendly, PDF & Email