Oleh: Melany Putri Maulivi (Mahasiswa Departemen Ilmu Politik Univ Andalas Padang)
Dalam hitungan bulan ke depan Pemilihan Umum di Indonesia akan kembali diadakan. Tepatnya pada tgl 14 Februari 2024. Setiap warga negara yang sudah memenuhi kriteria berhak menggunakan hak pilihnya dengan bijak di TPS nanti. Namun tak semua masyarakat yang sudah memenuhi syarat untuk memilih itu akan menggunakan hak pilihnya. Diantara mereka bahkan ada yang tidak memilih atau biasa dikenal dengan istilah Golongan Putih (Golput).
Menurut situs Rumah Pemilu yang dilansir oleh Kompas.com, golongan putih atau yang biasa disingkat Golput adalah pilihan untuk tidak memilih. Yang artinya masyarakat boleh saja tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pemilihan umum. Karena tidak ada Undang Undang yang melarang pilihan untuk tidak memilih ini (Golput). Namun jika berusaha untuk mempengaruhi orang lain supaya tidak menggunakan hak pilihnya itu baru bisa dipidana karena sesuai dengan Undang Undang tentang pemilu yaitu Undang Undang No 7 Tahun 2017 pasal 515.
Fenomena Golput pada saat pemilihan umum bukanlah hal baru di negara kita. Bahkan sudah menjadi budaya yang selalu ada pada setiap gelombang pesta demokrasi Indonesia. Golput pertama kali muncul akibat protes terhadap Pemilu 1971 yang saat itu dinilai tidak demokratis. Golput di Indonesia terus berkembang dari waktu ke waktu sehingga sudah menjadi budaya dalam dinamika perpolitikan Indonesia.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pada pemilu 2004 tingkat golput mencapai 20,24% atau sekitar 29,95 juta jiwa. Kemudian mengalami peningkatan pada pemilu 2009 yaitu 25,19% atau sekitar 43,14 juta jiwa. Persentase masyarakat yang memilih untuk golput terus meningkat yaitu pada pemilu 2014 sebanyak 30,22% atau sekitar 58,60 juta masyarakat. Data terakhir yang diperoleh dari BPS yaitu pada pemilu 2019 mengalami penurunan mencapai angka 18,03% atau sekitar 34,75 juta jiwa.
Masyarakat memiliki alasan yang beragam mengapa memilih untuk Golput pada saat pemilihan. Seperti, pertama, bentuk kekecewaan masyarakat pada pemerintah. Banyak dari masyarakat merasa bahwa mereka hanya dibutuhkan pada saat pemilihan saja. Setelah itu bahkan berbagai kebijakan yang ada serta kinerja pemerintah justru tidak memihak kepada rakyat. Ditambah lagi berita korupsi yang semakin menjadi di kalangan pemerintah yang semakin mengikis kepercayaan masyarakat.
Berdasarkan data dari Transparency International pada tahun 2022, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia dalam angka 0-100 itu menempati 34. Kondisi ini semakin menurun dari tahun 2021 yaitu pada angka 38. Bukannya semakin bersih dan baik dari korupsi, malah korupsi di negara kita semakin memburuk. Sehingga sebagai bentuk kekecewaanya, masyarakat memilih untuk Golput pada saat pemilihan umum.
Kedua, adalah keterbatasan fasilitas. Pada saat pemilihan umum masih ada fasilitas yang sulit dijangkau oleh masyarakat. Mulai dari TPS yang terlambat dibuka, hingga TPS yang tidak toleran terhadap penyandang disabilitas. Seperti medan jalan menuju TPS yang sulit dilalui. Ketiga, ketidakpastian oleh masyarakat tentang hari diadakannya Pemilu. Berdasarkan hasil survei LSI pada pemilu tahun 2019 yang dilansir dalam kpk.co.id yang dilakukan sebulan sebelum diadakannya pemilu menghasilkan data bahwa 29,5% masyarakat tidak tau bahwa pemilu diadakan pada bulan April 2019.
Lantas apakah budaya untuk tidak memilih (Golput) itu adalah pilihan terbaik? Bagaimana dengan golput dalam negara demokrasi?
Jika masyarakat ingin menggunakan hak pilihnya atau tidak, itu adalah hak individu mereka. Namun karena negara kita sudah memberikan kesempatan dalam memilih bagi setiap masyarakat yang sudah sesuai ketentuan yang berlaku, maka sangat disayangkan jika tidak digunakan. Karena alasan kecewa kepada pemerintah akhirnya banyak masyarakat yang memilih untuk menyimpan hak suaranya. Padahal dengan semakin banyak golput bisa menimbulkan tumbuhnya masalah baru. Seperti terpilihnya pemimpin yang tidak tepat karena banyak masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya.
Sebagai masyarakat kita tentu ingin yang terbaik untuk negara dan tempat kita menetap. Tapi terkadang usaha kita bersama tidak maksimal sehingga tidak dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemajuan bersama. Jika kita tidak menggunakan hak pilih dengan baik, kita jugalah yang akan merasakan kerugiannya. Karena itulah dalam menyambut pemilihan umum 2024 mendatang, mari gunakan hak pilih dengan sebaik baiknya. Mari dukung Indonesia sebagai negara demokrasi dengan ikut dalam pemilihan umum!
Gambar berita: dibrowsing dari google free access