Ada Ketimpangan Penegakan Hukum di Polres Tanah Datar?

Opini Oleh: Muhammad Intania, SH
(Advokat & Pemerhati Sosial Politik)

Ada peristiwa menarik yang perlu diungkapkan kepada publik Tanah Datar perihal perkara yang sedang penulis hadapi untuk dapat menjadi pembelajaran dan pendewasaan bagi semua masyarakat Luhak Nan Tuo baik di Salingka Tanah Datar maupun yang di perantauan, bahwa tidak semua Laporan Pengaduan / Laporan Polisi (LP) dari masyarakat awam bisa diselesaikan sampai ke tahap penetapan tersangka, apalagi jika perkara tersebut melibatkan oknum penguasa daerah / oknum Pejabat Aparatur Sipil Negara (ASN).

Contoh atas kondisi dimana seorang Kuasa Hukum telah membuat Laporan Pengaduan kepada Polres Tanah Datar pada tanggal 10 November 2023 atas dugaan penyerobotan tanah milik klien yang diatas nya berdiri bangunan SMPN 2 Batusangkar dan bangunan SDN 20 Baringin atas pemberian ijin HAK PAKAI kepada Dinas Pendidikan sekitar tahun 1950 an yang secara diam diam pada sekitar Februari 2022 akan disertifikatkan oleh Pemerintah Kabupaten Tanah Datar tanpa meminta ijin terlebih dahulu kepada ahli waris pemilik lahan.

Dalam melengkapi laporan pengaduan, Kuasa Hukum juga sudah memberikan dokumen pendukung seperti Salinan Surat Keterangan Atas Tanah tahun 1953 yang biasa dikenal masyarakat umum Minangkabau sebagai Alas Hak. Selain itu juga sudah disertai keterangan histori kepemilikan mulai dari pemberian Hak Pakai oleh Datuk terdahulu hingga penguatan dalam dalil Putusan Pengadilan Negeri tahun 2003, selain itu juga tentang sejarah bahwa Kepala Dinas Pendidikan pada tahun 2017 pernah meminta kepada ahli waris agar tanah SMPN 2 Batusangkar dihibahkan kepada pemerintah namun ditolak ahli waris. Setidaknya bukti dokumen dan keterangan yang disampaikan sudah membuktikan bahwa lahan tanah SMPN 2 Batusangkar dan SDN 20 Baringin tersebut benar milik para ahli waris.

Makna lainnya juga menyatakan bahwa lahan SMPN 2 Batusangkar dan SDN 20 Baringin ada pemiliknya. Selain itu juga ditambahkan bahwa Kuasa Hukum sudah pernah melayangkan Surat Sanggahan kepada BPN Tanah Datar, sudah pernah dimediasi yang pada prinsipnya tidak ada sekalipun pihak Pemerintah Tanah Datar membantah secara resmi keabsahan dokumen yang dimiliki Ahli Waris.

Namun disayangkan Penyelidik yang menangani perkara tersebut diduga kuat terkesan mengenyampingkan fakta dokumen dan keterangan penguat dari pelapor dan malah justru terkesan seolah bertindak mewakili kepentingan terlapor (oknum penguasa daerah / oknum pejabat ASN). Dugaan tersebut makin diperkuat dengan fakta fakta yang ditemukan selama proses Gelar Perkara pada tanggal 27 Desember 2023 yang sudah sempat penulis bahas di media online Jurnal Minang pada tanggal 28 Desember 2023 berjudul: “Menganalisa Gelar Perkara Terkait Laporan Pejabat di Polres Tanah Datar yang Berpotensi Cacat Hukum”.

Baca Juga :  BKN RI Dampingi PUSPENKOM UIN Batusangkar Menuju Akreditasi, Ini Harapan Rektor

Kasat Reskrim Ary Andre JR, SH, MH selaku Penyidik atas nama Kapolres Tanah Datar telah menerbitkan surat No. B/4/I/2024/Reskrim tertanggal 08 Januari 2024 perihal Pemberitahuan perkembangan perkara, yang setelah dilaksanakan Gelar Perkara pada 27 Desember 2023 akan melakukan penghentian penyelidikan.

Adapun alasan penghentian penyelidikan adalah karena Penyelidik tidak dapat menentukan alas hak atau bukti kepemilikan mana yang digunakan untuk menunjuk kepemilikan atas tanah SMP 2 Batusangkar dan SD 20 Baringin tersebut secara hukum, karena penyelidik selaku aparat penegak hukum TIDAK ADA KOMPETENSI untuk menilai keabsahan surat yang menunjukkan suatu hak (hukum perdata). Artinya penyelidik belum menemukan adanya suatu peristiwa pidana sebagaimana yang dimaksud oleh pelapor dalam surat pengaduannya.

Dengan mengenyampingkan bukti kepemilikan alas hak dan tidak adanya kompetensi untuk menilai keabsahan surat, maka diduga menjadi alasan pembenar yang dapat menimbulkan preseden buruk dalam penegakan hukum terkait masalah tanah di Tanah Datar ini.

Padahal faktanya tanah tersebut ada pemiliknya, jelas statusnya bahwa telah diberikan Hak Pakai kepada Dinas Pendidikan sebelumnya, ada fakta hukum dan sejarah pemberian Hak Pakainya. Lantas kenapa akan disertifikatkan secara diam diam oleh Pemerintah Tanah Datar. Bukankah dalam setiap peralihan hak jelas ada pihak yang menyerahkan hak dan ada pihak yang menerima hak. Tidak bisa semena mena Pemkab Tanah Datar memindahkan hak secara sepihak!. Mentang mentang sudah ada MOU dengan BPN Tanah Datar?

Agaknya Penyelidik lupa bahwa tanah warisan di Sumatera Barat terkait dengan adat, mayoritas belum memiliki sertifikat. Pengakuan dasar kepemilikan tanah masih berupa Surat Keterangan yang dikeluarkan oleh Wali Nagari setempat dan diketahui oleh KAN setempat dan dikuasai secara turun temurun.

Sementara Penyelidik seharusnya tahu bahwa Pemkab Tanah Datar hanya diberikan Hak Pakai oleh Ahli Waris atas lahan yang dipinjamkan, dan Penyelidik harusnya mendalami bahwa Pemkab Tanah Datar sendiri tidak memiliki sertifikat atas tanah tersebut. Maknanya, Pemkab Tanah Datar tidak memiliki lahan tersebut!.

Seharusnya Penyelidik paham bahwa bukti kepemilikan tanah di Indonesia selain Sertifikat, juga ada yang disebut dengan penamaan Girik, Letter C, Petok D, Surat Hijau, Pipil Tanah, Rincik, dan Eigendom Verponding. Khusus untuk wilayah Sumatera Barat, bukti kepemilikan tanah masyarakat / kaum yang diakui dan berlaku umum adalah dibuktikan dengan Surat Keterangan yang ditanda-tangani oleh para saksi dan Wali Nagari serta KAN setempat yang biasa dikenal dengan sebutan Surat Keterangan Kepemilikan Tanah / Alas Hak.

Baca Juga :  Irdinansyah Mundur dari Bursa Cabup, Peta Politik Berubah

Maka apabila Penyelidik mengabaikan (tidak menganggap) keberadaan sebuah Surat Keterangan Kepemilikan Tanah (Alas Hak) dan kemudian terjadi sebuah peristiwa pidana terkait hal tersebut, namun “terpaksa” harus dianggap tidak ada peristiwa pidana yang telah terjadi, dikhawatirkan kondisi ini akan menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum di Polres Tanah Datar.

Penulis berikan contoh manakala misalnya seorang Eks Timses Bupati yang berkuasa membangun sebuah sarana pariwisata diatas kebun milik masyarakat, kemudian masyarakat mengadu kepada Polres Tanah Datar dengan laporan dugaan penyerobotan lahan. Masyarakat tersebut tidak memiliki bukti sertifikat atas lahan, namun secara de facto sudah dikuasai dan dikelola sejak selama puluhan tahun. Lantas pihak Penyelidik beralasan tidak bisa menindaklanjuti laporan karena masyarakat tersebut tidak punya bukti kepemilikan tanah. Sungguh miris!

Contoh kedua, Si A merental mobil dari si B dimana mobil tersebut atas nama si C. Kemudian si A menjual mobil tersebut tanpa sepengetahuan si B. Si B lantas melapor ke Polres Tanah Datar dengan laporan dugaan penggelapan barang. Akan tetapi Penyelidik Polres tidak dapat menindaklanjuti laporan karena si B tidak bisa membuktikan bahwa mobil tersebut adalah miliknya karena STNK dan BPKB mobil tersebut adalah atas nama si C padahal orang banyak tahu bahwa mobil tersebut selama ini dikuasai oleh si B.

Sebegitu mudahkah seorang Penyelidik dapat menutup sebuah perkara dari pengaduan masyarakat? Tentu tidak, kecuali ada “kepentingan lain”, misalnya akan menjadi preseden buruk bilamana ada keterlibatan penguasa dalam perkara tersebut. Tentu bisa menjadikan citra buruk bagi institusi Polres Tanah Datar bilamana ada dugaan institusi Polres Tanah Datar sudah tidak independen dan patut diduga menjadi alat kekuasaan, bukan sebagai alat Negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, yang seharusnya bertugas melindungi, menganyomi, melayani masyarakat serta menegakan hukum. Tidak ditemukan kamus bahwa tugas Polisi adalah untuk melayani penguasa, apalagi jadi perpanjangan tangan kepentingan penguasa!

Maka siap siap saja rakyat badarai gigit jari mana kala bermasalah / dipermasalahkan ke Polres Tanah Datar namun tidak bisa mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum atas tanahnya yang “dicaplok” oleh oknum penguasa / pihak lain dengan semena mena hanya karena tidak memiliki dokumen sertifikat dan hanya masih berbentuk Alas Hak, Surat Pegang Gadai, Surat Hibah, dll dengan alasan bahwa itu bukan kewenangan Penyelidik untuk menilai keabsahan sebuah surat.

Baca Juga :  Rektor UIN Batusangkar: Mahasiswa Harus Berorganisasi, Mengembangkan Diri dan Memperluas Jaringan

Padahal jika kita kembali ke prinsip dasar bahwa pengertian Penyelidikan merujuk kepada BAB I Pasal 1 Ayat 5 KUHP adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang.

Maknanya jelas bahwa proses penyelidikan itu untuk MENCARI dan MENEMUKAN suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Jika sudah ditemukan minimal 2 (dua) alat bukti, maka layak dinaikkan ke tingkat penyidikan, bukan mencari alasan pembenar bahwa belum ada peristiwa pidana tersebut. Apalagi dengan cara mengabaikan tidak memanggil dan tidak meminta keterangan terlapor hanya karena si terlapor adalah seorang penguasa!

Jika praktek mencari alibi pembenaran tersebut dilanjutkan untuk kepentingan lain, maka bukan tak mungkin misalnya seseorang yang menyerobot tanah atau mencuri hasil panen diatas lahan tidak bersertifikat tidak bisa diproses hanya karena si pelapor (pemilik lahan) tidak memiliki surat kepemilikan.

Bukan tidak mungkin juga seseorang bebas dari proses pidana menggelapkan kendaraan si pelapor hanya karena si pelapor tidak memiliki bukti kepemilikan kendaraan atas nama si pelapor. Sejatinya seorang penyelidik hanya perlu mendapatkan 2 (dua) alat bukti.

Bukankah semua alasan alasan dokumen kepemilikan dianggap kabur, dianggap tidak sah, dll tersebut perlu dibuktikan di persidangan? Karena sejatinya fungsi Penyelidik untuk mencari dan menemukan sebuah peristiwa dugaan pidana, dan fungsi Penyidik untuk menetapkan pelakunya. Kemudian diproses ke kejaksaan dan di pengadilan negeri dengan vonis bahwa terdakwa benar bersalah atau bebas dari tuntutan hukum.

Biar nanti Hakim yang memutuskan bahwa dasar kepemilikan tanah sah / tidak sah dan dasar dakwaan terbukti / tidak terbukti. Bukan kewenangan Penyelidik untuk tidak menganggap sebuah bukti kepemilikan dan dengan alasan tersebut dianggap belum ada sebuah peristiwa pidana hanya karena si terlapor adalah penguasa daerah? Lantas dimana diletakkan azas equality before the law? Benarkah terjadi penerapan hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah di Luhak Nan Tuo ini? Wallahualam.