News, Opini  

Nasib Perda Jalur Hijau Di Tanah Datar

Oleh: Dr (cand) Inoki Ulma Tiara, M.Pd

Melihat perkembangan daerah Tanah Datar hari ini, agaknya Perda Kabupaten Tanah Datar nomor 5 Tahun 1994 Tentang Kawasan Wisata Agro dan Jalur Hijau perlu dilihat kembali agar tidak terjadi pembiaran atau bahkan pengangkangan berkelanjutan. Opsinya; cabut perda tersebut atau direvisi!”

Setiap peraturan yang baik dibuat dengan tujuan yang baik. Ketika peraturan tersebut sudah dianggap tidak baik yang mesti dilakukan  adalah merubah peraturan tersebut kearah yang  baik, bukan melakukan  pelanggaran  dengan alasan kebaikan. Salah satu peraturan yang bertujuan baik adalah  Peraturan Daerah tentang Jalur Hijau di Kabupaten Tanah Datar. Peraturan tersebut tertuang  dalam Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 5 tahun 1994 tentang Penetapan Kawasan Wisata Agro dan Jalur Hijau.

Jalur  hijau di kabupaten Tanah Datar dibuat dengan beberapa alasan. Pertama, mempertahankan kehijauan dan hamparan indah persawahan. Kedua, agar tanah tersebut tidak diperjualkan sebagai lahan bisnis.  Jika lahan tersebut diperjualbelikan sebagai lahan bisnis, maka akan dibeli oleh pihak luar sehingga dengan berjalannya waktu masyarakat atau anak kemanakan pemilik tanah atau sawah  akan menjadi tamu di tempat lahirnya karena tanah persawahan  tersebut dimiliki orang luar.

Disisi lain setiap daerah yang melakukan percepatan pembangunan, memerlukan pengembangan wilayah sehingga tercipta beberapa pusat kegiatan masyarakat mulai dari pemukiman, lahan usaha, tempat-tempat hiburan dan rekreasi. sebuah dilema, memang.

Pengembangan wilayah kadangkala tidak sejalan dengan asumsi-asumsi dan prediksi-prediksi sebelumnya. Di Kabupaten Tanah Datar ada 5 jalur utama dari pasar Batusangkar pengembangan tempat-tempat usaha, pertama dari Pasar Batusangkar ke arah IAIN Batusangkar atau arah Nagari Lima Kaum, kedua Pasar Batusangkar ke arah Nagari Sungai Tarab, Ketiga Pasar Batusangkar menuju Bukit Gombak, keempat Pasar Batusangkar ke Nagari Minangkabau, kelima Pasar Batusangkar menuju Kantor Bupati Kabupaten Tanah Datar atau Nagari Pagaruyung.

Baca Juga :  Polemik Progul Satu Nagari Satu Even: Sebuah Refleksi dan Evaluasi

Dari lima jalur yang berkembang saat ini sebagai tempat-tempat usaha yang berada dipingir jalan, dua jalur jalan raya diantaranya melewati jalur hijau yang notabene tidak dibolehkan berdirinya bangunan. Hebat sekali Perda tersebut.

Hari ini bangunan-bangunan usaha tersebut telah berkembang pesat di dua jalur hijau tersebut. Mulai warung kecil yang berlantai tanah dan berdinding papan sampai bangunan permanen yang berbentuk rumah toko (ruko) dan lainnya. Perkembangan ekonomi masyarakat terlihat karena tempat-tempat berkembang dengan menu kuliner dengan ciri khas masing-masing dan secara nyata mengurangi pengangguran, baik pekerja yang berasal dari Kabupaten Tanah Datar, ataupun berasal dari daerah lain. Sehingga perkembangan penjualan kuliner di sepanjang jalur hijau ini telah menjadi daya tarik sendiri dan tumbuh bagaikan jamur di musim hujan.

Kita kembali kepada narasi awal tadi, bahwa tidak boleh ada peraturan -peraturan atau perundang -undangan yang dilanggar apalagi dikangkangi. Penegakan Perda Nomor 5 Tahun 1994 tentang Kawasan Wisata Agro dan Jalur Hijau pernah dilakukan semasa Bupati Tanah Datar Masriadi  Martunus.  Bangunan baru yang berdiri di jalur hijau langsung dirobohkan. Semasa pemerintahan beliau sebagai kepala daerah tidak ada bangunan permanen yang dibangun di jalur hijau. Tetapi pada pemilu kepala daerah tahun 2005, beliau kalah. Kepala daerah atau bupatipun berganti.  Maka berganti pula kebijakan di Kabupaten Tanah Datar. Kemudian secara leluasa bermunculan warung-warung kecil seperti kedai kopi dan jagung bakar dll. Warung-warung kecil tersebut bermetamorfosa menjadi kedai nasi, restaurant, café, dan coffe shop dll. 

Pertanyaan mengapa bangunan-bangunan itu berdiri dan menjamur? Jawabannya adalah pembiaran.  Pembiaran atas nama kebaikan hati. Alasan kebaikan hati ini sangat sederhana bahwa masyarakat yang telah membangun ekonominya sendiri dengan cara  membangun usaha akhirnya menghasilkan pendapatan  mengapa kita tidak kasihan kalau bangunan tersebut dirobohkan membuat mereka kehilangan mata pencaharian atau sumber ekonomi. Jawaban ini terdengar baik dan berempati  tetapi  ini melangar Perda dan seakan-akan kepala daerah beserta jajaran Pemda sebelumnya di Tanah Datar tidak menaruh kasihan dan tidak berempati.  Pemerintahan daerah yang katanya berempati  tersebut berakhir 10 tahun kemudian.

Baca Juga :  Cabup Richi Aprian Bersama Tim Pemenangan Tepis Isu Hoak Terkait PKH di Sungai Tarab

Pada  tahun 2016 kepala daerah atau bupati dan wakil bupati baru terpilih dan mengahadapi dilema pula karena bangunan-bangunan tersebut telah berkembang sedemikian rupa karena pembiaran. Menegakkan Perda seraya membunuh pendapatan masyarakat dan membiarkannya artinya melanggar Perda pula. Kesalahan Pemerintah Kabupaten Tanah Datar yang dilantik 2016 selain  membiarkan dilemma berlanjut  seolah olah menikmati pelanggaran tersebut dengan memungut pajak di tempat usaha yang tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). 

DPRD Kabupaten Tanah Datar sebenarnya mempunyai  kesempatan dan tugas mengakhiri dilemma ini. Pilihannya memang sulit tetapi harus dilaksanakan sebelum persoalan ini bertambah runyam dengan berdirinya bangunan-bangunan baru yang lebih megah. Akan ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan pribadi dan kelompok dengan celah hukum yang dimiliki oleh tempat-tempat usaha tersebut.

Pilihan sulit tersebut adalah tegakkan Perda dengan merobohkan bangunan-bangunan yang melanggar atau cabut PERDA KABUPATEN TANAH DATAR NOMOR 5 TAHUN 1994 TENTANG KAWASAN WISATA AGRO DAN JALUR HIJAU, dan pilihan ketiga adalah revisi dari perda tersebut seperti 70 meter dari pinggir jalan boleh didirikan bangunan dan selebihnya menjadi jalur hijau kembali. Keputusan ini harus diambil sehingga tidak menjadi beban sejarah dari waktu ke waktu terutama bagi calon bupati yang menang nanti.