Oleh: Rahmad Dani
Mahasiswa Pascasarjana IAIN Batusangkar
Di ujung tahun 2019 yang lalu LKAAM Tanah Datar dengan sangat bijak memberikan pendapat tertulis tentang eksistensi perempuan menjadi kepala negara, gubernur, bupati / walikota. Pendapat itu dituangkan dalam surat bernomor 16/LKAAM-TD/2019. Namun surat itu tidak banyak menjadi perhatian publik ketika itu. Kini, ketika suhu pilkada mulai “memanas” ada beberapa kelompok masyarakat yang–mungkin tidak faham adat– ikut mempermasalahkan calon perempuan yang ingin menjadi kepala daerah.
Melalui tulisan ini, kami lakukan analisis konten terhadap surat LKAAM tersebut sehingga bisa menambah wawasan kita tentang status kepemimpinan perempuan dalam adat Minangkabau. Kita tidak mesti ikut ikutan “melarang” ataupun “setuju” jika tidak memiliki dasar hukum serta argumen yang jelas dan masuk akal. Mengapa kita mesti terjebak dalam debat kusir yang tak berujung? Bukankah LKAAM sudah mengeluarkan pendapat? Dan malah membolehkan perempuan menjadi kepala daerah?
Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa yang diatur oleh adat adalah kepemimpinan adat yaitu urang nan Ampek jinih (Penghulu, Manti, Malin dan Dubalang) serta urang jinih nan Ampek (imam, khatib, Bilal dan kadhi). Untuk mengisi jabatan tersebut memang harus laki-laki. Tetapi untuk kepemimpinan negara apakah presiden, gubernur, bupati / walikota tidak ada aturan adat yang melarang kaum perempuan. Jadi, jelas bahwa tidak ada aturan adat yang melarang kepala daerah itu perempuan. Ini adalah sebuah sikap yang sangat bijak dari LKAAM Tanah Datar yang diisi oleh orang orang yang berpengetahuan tentang adat.
Dari informasi yang beredar di sebagian kecil masyarakat bahwa bertebaran isu-isu yang kurang bisa dipertanggungjawabkan bahwa perempuan tidak pantas menjadi kepala daerah. Ini adalah distorsi informasi dan menyesatkan. Kita kasihan kalau informasi ini dibiarkan tentu akan menyesatkan generasi muda Minang saat ini. Dari pendapat LKAAM tersebut bisa kita pedomani betapa adat Minang memberikan posisi yang terhormat untuk perempuan. Untuk apa kita berpendapat “tidak setuju” kalau hanya untuk kepentingan politik?
Adat Minangkabau sudah mengatur banyak hal tentang kehidupan kita dalam bernegara dan bermasyarakat. Semuanya dibuat dahulunya oleh nenek moyang kita tentu berdasarkan kearifan dan kebijaksanaan serta musyawarah bersama. Bak kata petuah adat, “Diukua mangko dikarek, diagak mangko diagiah.” Kadang kita tidak menyadari betapa mulianya keberadaan perempuan. Mereka pada hakikatnya memiliki hak yang sama. Mengapa kita batasi? Bukankah itu hanya ego laki-laki saja?
Dalam hal pilkada di ranah Minang tentu kita berharap semuanya berjalan sesuai dengan aturan. Tidak ada konflik dan pertentangan hanya karena masalah laki laki dan perempuan. Siapapun yang dipilih oleh masyarakat berarti dialah yang terbaik. Andai saja yang terpilih menjadi kepala daerah itu perempuan misalnya, kita terima dengan lapang dada.
Tentu kita yang berdomisili di Luak nan Tuo ini tidak perlu ikut ikutan menentang kehadiran calon kepala daerah dari kaum perempuan. Tunjukkan lah kepada dunia bahwa kita tidak bersikap anti gender tetapi kita sudah mewarisi kearifan lokal semenjak zaman dahulu sebagai masyarakat yang menganut prinsip kesetaraan gender. Orang Minang adalah orang yang tidak mudah termakan isu. Tidak mudah diprovokasi. Orang Minang itu cerdas dalam menyeleksi informasi. (Bersambung).