Oleh: Putri Effendi
(Mahasiswa Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Manolah niniak sarato mamak
Cukuik dunsanak kasadonyo
Eloklah samo kito caliak
Buliahnyo tau kito basamo
Minangkabau, salah satu suku bangsa terbesar yang mendiami pulau Sumatra tepatnya Sumatra Barat ini dikenal akan kekayaan alamnya yang begitu berlimpah. Tidak hanya populer akan kuliner dan destinasi wisatanya, keunikan adat serta budaya turut menjadi daya tarik bagi para pelancong baik dalam negeri maupun luar negeri. Tak hanya itu, Minangkabau juga terkenal sebagai daerah yang melahirkan orang-orang berpendidikan mulai dari politikus, pahlawan, hingga sastrawan.
Salah seorang sastrawan terkemuka asal Minangkabau yaitu Chairul Harun. Ia Lahir dan besar tepatnya di Kayu Tanam, Padang Pariaman, membuat kehidupan seorang Chairul Harun penuh akan pengalaman budaya serta adat istiadat yang masih terjaga. Sebelum menjadi sastrawan, Chairul Harun merupakan seorang wartawan Indonesia yang telah memiliki jam terbang tinggi mulai dari wartawan, redaktur, hingga menjadi pimpinan redaksi harian Haluan pada tahun 1969. Bergabungnya Chairul Harun dalam dunia kepenulisan menghasilkan beberapa karya berupa puisi, cerpen, hingga novel. Salah satu novel karangannya yang masih eksis hingga kini yaitu “Warisan”.
Novel merupakan ungkapan atau isi hati pengarang yang diceritakan, dipaparkan, diuraikan, dinarasikan, serta dikisahkan dalam bentuk alinea dengan beberapa episode di dalamnya. Novel menjadi salah satu karya sastra yang diminati oleh berbagai kalangan, baik tua maupun muda. Banyak tema yang diangkat dalam sebuah novel, salah satunya bertemakan tentang sosial masyarakat. Tema inilah yang diangkat Chairul Harun untuk mengajak pembaca memasuki dunia konflik sosial yang dibalut adat Minangkabau.
Novel Warisan berkisah tentang seorang pemuda bernama Rafilus terpaksa datang kembali ke kampung halaman ayahnya di Kuraitaji yang penuh sengketa untuk membawa sang ayah ikut tinggal bersama di Jakarta. Namun sesampainya ia di sana, Rafilus dihadapkan dengan berbagai persoalan pelik seperti masalah pernikahan, kematian, serta permasalahan utama di novel ini yaitu pembagian harta warisan setelah kepergian sang ayahanda, Bagindo Tahar.
Naskah novel ini pada awalnya ialah naskah yang diikutsertakan dalam “Sayembara Mengarang Roman” yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, salah satu lembaga kesenian bergengsi yang dibuat oleh pemerintah DKI Jakarta, bertugas sebagai mitra kerja gubernur untuk merumuskan kebijakan serta merencanakan berbagai program guna mendukung kegiatan dan pengembangan kehidupan kesenian.
Dalam sayembara tersebut, novel Warisan tidak masuk dalam kategori pemenang namun dinyatakan sebagai novel layak terbit dan dianjurkan untuk diterbitkan oleh juri. Hingga akhirnya Pustaka Jaya menerbitkan novel ini pada tahun 1979 dengan cetakan pertama setebal 152 halaman dan cetakan kedua pada tahun 2002 setebal 134 halaman dalam jumlah tiras yang tidak begitu besar.
Novel Warisan memberikan gambaran jelas terkait budaya Minangkabau. Dimulai dengan menggambarkan penerapan sistem kekerabatan masyarakat Minangkabau yang menganut garis keturunan dari pihak ibu atau matrilineal seperti dalam kutipan berikut.
“Apakah yang menyebabkan Ayah menjadi bimbang?” tanya Rafilus.”Adik dan kemenakanku.” jawab Bagindo Tahar. ”Serahkan sepenuhnya harta pusaka Ayah pada mereka.” terang Rafilus. ”Aku pemimpin mereka menurut adat. Aku tidak dapat meninggalkan mereka.” (C. H. 2007: 20)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Bagindo Tahar bertanggungjawab membimbing saudara perempuan dan kemenakannya di segala keadaan. Masyarakat Minangkabau dalam sistem kekerabatan, menganut garis keturunan ibu atau matrilineal.
Seorang laki-laki Minangkabau berfungsi sebagai mamak atau saudara laki-laki dari pihak ibu untuk bertanggung jawab terhadap kemenakannya (anak dari saudara perempuannya) yang dalam pandangan adat jauh lebih kuat dibanding hubungannya sebagai ayah dengan anak kandungnya seperti yang diungkapkan dalam falsafah Minangkabau, ‘anak dipangku, kamanakan dibimbiang’.
Mengambil latar budaya Minangkabau di Pariaman, novel ini turut menggambarkan budaya khas masyarakat Pariaman dari aspek pernikahan dalam hal lamaran antara tokoh Rafilus dan Arneti ketika menjalankan proses adat seperti dalam kutipan berikut.
“Sebagai anak seorang bagindo dan seorang yang bertitel doktorandus uang jemputan Rafilus termasuk tinggi. Rakena dan keluarganya telah mempertimbang kan hendak menjemput Rafilus sebelum kematian Sidi Badaruddin. Kesepakatan dicapai oleh keluarga Rakena untuk menjemput Rafilus dengan harga sebuah Vespa atau 20 buah ringgit mas. Tidak menjadi persoalan bagi mereka apakah uang jemputan itu akan hilang atau tidak.” (C. H. 2007: 69).
Berbeda dengan adat pernikahan di daerah Minangkabau lainnya, masyarakat Pariaman dari pihak perempuan dalam prosesi adat pernikahan mendatangi pihak laki-laki serta membayar sejumlah uang jemputan sebagai tanda untuk meminta laki-laki tersebut menjadi calon suami bagi anak perempuan mereka. Karena masyarakat Minangkabau menganut sistem kekerabatan dari garis ibu (matrilineal), semakin tinggi gelar atau martabat yang dimiliki pihak kaum ibu serta mamak laki-laki, maka semakin besar pula uang jemputan yang harus dibayarkan.
Uang jemputan ada yang hilang, maksudnya sebagian dari uang jemputan tersebut ada yang tidak akan dikembalikan dan menjadi konsumsi pribadi laki-laki yang dipinang. Namun umumnya, uang jemputan dipergunakan laki-laki untuk kehidupan awal pernikahan seperti membeli ranjang, perabotan, atau perhiasan yang dapat meninggikan strata sosial dalam masyarakat.
Budaya dan aturan adat masyarakat Minangkabau tidak hanya mengatur dalam sistem kekerabatan ataupun pernikahan saja, tetapi sampai ke titik akhir hayat dari hidup seseorang juga diatur dalam ketentuan adat. Seperti halnya yang dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Tiap kaum atau suku adat di Minangkabau harus jelas pendam pekuburannya. Yang hampir punah dari keluarga Bagindo Tahar adalah keluarga sejurai, tetapi kaum Piliang di Kuraitaji belum habis. Datuk Bandaro Basa, penghulu suku adat Piliang, pimpinan kaum Bagindo Tahar, berpendapat bahwa Sidi Badaruddin hendaknya dikuburkan di pusara kaum itu, yaitu di kampung Lubuk Ipuh.” (C. H. 2007: 51).
Dikatakan bahwa yang hampir punah dari garis keluarga Bagindo Tahar ialah keluarga sajurai atau sejurai. Sajurai merupakan bahasa Minang yang berarti segenggam atau sebagian kecil. Dalam konteks ini sajurai memiliki makna bahwa keluarga yang hampir punah dari pihak Bagindo Tahar adalah keluarga terdekat atau kandung. Namun keluarga sesuku di Kuraitaji masih ada sehingga jenazah Sidi Badaruddin, kemenakan Bagindo Tahar, hendaknya dikuburkan di kuburan kaum atau kuburan suku.
Kuburan suku inilah yang menjadi perangkat dengan kepemilikan bersama, yaitu dikelola oleh pihak suku Piliang. Kuburan suku diadakan untuk melihat serta menjaga keaslian dan kearifan pada suku tersebut sehingga menghindari kekeliruan dalam pembentukan silsilah keluarga di masa berikutnya. Selain itu, kuburan suku ataupun kuburan kaum berfungsi untuk memudahkan anggota keluarga ketika berziarah, berkumpul, dan menjaga makam leluhur mereka yang mencerminkan nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, dan saling menjaga dalam masyarakat Minangkabau.
Dapat dimaknai juga sebagai ikatan keluarga yang kuat dan saling terkait bahwa sekalipun sudah berbeda dunia, mereka tetap “bersatu” dalam satu pemakaman yang sama.
Adapun budaya yang mencerminkan nilai spiritualitas masyarakat Minangkabau sebagai bentuk kepedulian sosial antar sesama masyarakat, ialah budaya mandoa atau mendoa.
Kegiatan ini dilakukan selain sebagai bentuk rasa syukur akan suatu pencapaian seperti hendak menikah, kelahiran anak, menyambut datangnya bulan ramadhan, ataupun ketika musim panen datang, juga dilakukan dalam momen duka seperti meninggalnya seorang dari masyarakat di daerah tersebut, mendoa menjadi sarana yang memperkuat ikatan komunitas dan memohon keberkahan dari Yang Maha Kuasa. Dalam novel Warisan, hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut.
“Ajo Pekok memberitahu pada mereka bahwa pada hari ketiga dari kematian Sidi Badaruddin akan diada kan doa meniga hari. Waktu mendoa meniga hari yang datang hanya Ungku Gadang. Pada sore ketika mendoa menujuh hari, rumah Bagindo Tahar penuh sesak.” (C. H. 2007: 65-66, 68)
Kegiatan mendoa dilakukan setelah 3 hari dan 7 hari kepergian Sidi Badaruddin yang dihadiri oleh masyarakat Kuraitaji. Karena kedudukan sosialnya yang tinggi, banyak tamu yang hadir dalam kegiatan mendoa menujuh hari Sidi Badaruddin sehingga menyebabkan suasana penuh sesak di rumah Bagindo Tahar. Dalam hal duka, kegiatan mendoa disebut sesuai dengan jumlah hari setelah kepergian almarhum. Seperti dalam kasus Sidi Badaruddin, maka kegiatan mendoa disebut manigo hari atau meniga hari dan manujuah hari atau menujuh hari.
Kegiatan ini sesuai dengan falsafah adat Minangkabau, ‘syarak mangato, adaik mamakai’ maksudnya ialah adat Minangkabau bersendi pada agama islam yang menyatakan serta menetapkan, lalu adatlah yang memakai atau menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan mendoa bagi masyarakat Minangkabau merupakan bagian dari etika sosial, bentuk empati, serta mempererat solidaritas antar masyarakat kampung yang tak hanya ada ketika senang tetapi juga saling menguatkan dikala duka.
Konflik sosial dan internal mengenai pembagian harta warisan, percintaan berbayar, hingga hukum adat istiadat yang disalah-artikan, dibungkus dalam budaya khas masyarakat Minangkabau yang disajikan oleh Chairul Harun memberikan pengalaman membaca tersendiri bagi para pembaca khususnya yang tertarik dengan kebudayaan Minangkabau.
Alur cerita serta gaya bahasa yang mengajak pembaca untuk ikut merasakan ketegangan konflik serta penggambaran adat istiadat yang jelas, mampu memperkuat suasana dan menciptakan ruang baru dalam pelestarian kebudayaan Minangkabau khususnya pemahaman tentang adat istiadat sebagai alat dalam penyelesaian konflik sosial hingga pribadi masyarakatnya. Hal ini juga merangkap sebagai pembuktian bahwa karya sastra tidak hanya berperan sebagai objek yang bernilai estetis, tetapi juga sebagai alat penyampai kritik sosial, aspirasi, opini, serta harapan dalam setiap kalimatnya. (*)
Sumber gambar: Indonesia.go.id
