Oleh: Sabarnuddin
(Mahasiswa Sejarah Universitas Negeri Padang)
Pemerintahan yang mendalilkan kesejahteraan memiliki tanggung jawab untuk mengimplementasikan janjinya melalui kebijakan yang adil. Kesejahteraan versi pemerintah bisa berbanding terbalik dengan harapan yang diinginkan rakyat. Kesejahteraan yang menutupi celah ruang ketimpangan namun menutup setiap suara yang akan menggoyang pemerintahan ini yang biasa dikenal dengan pemerintahan otoriter.
Dalam bahasa sederhana ‘biarkan kami yang atur kalian hanya ikuti perintah dan jangan ganggu pemerintah’. Praktek pemerintahan otoriter pernah dialami oleh Indonesia yakni pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Ia menjalankan pemerintahan dengan caranya sendiri dan tidak bisa dikritik oleh pihak manapun.
Hal ini memancing emosi publik, di lain sisi ia memegang kendali atas keseluruhan tata kelola pemerintahan dari pusat hingga daerah bahkan pemilu yang menjadi pesta demokrasi sebagai ajang penyaluran suara rakyat dapat diatur sedemikian rupa oleh Soeharto. Penguasaan yang berimplikasi matinya demokrasi dan hadirnya regenerasi kepemimpinan karena ia mengontrol keseluruhan kebijakan.
Kendali pemerintahan dan lembaga ia pusatkan pada partai golkar yang saat itu dikenal dengan partai mewah dan istimewa, karena seluruh kadernya sudah pasti mendapat jabatan dan diberikan fasilitas oleh Soeharto.
Kejayaan Soeharto harus jatuh pada Mei 1998 dimana terjadi demo besar-besaran di Jakarta bahkan sampai menimbulkan korban jiwa akibat kesewenangan militer saat itu.
Mahasiswa yang bergerak menuju gedung DPR/MPR melumpuhkan Soeharto dan atas desakan dari para petinggi negara Soeharto akhirnya meletakkan jabatan presiden yang akhirnya diemban oleh sang wakil B.J Habibie sang pembuka lembaran reformasi yang membuat nafas baru dalam demokrasi Indonesia. Warna baru dalam lembaran sejarah Indonesia menjadi catatan bangsa betapa tangguhnya negeri ini tunduk dan takluk dalam kuasa keotoriteran Soeharto selama 32 tahun.
Kejadian yang telah berlalu tentu menjadi pelajaran penting yang berharga betapa negeri ini harus waspada akan siapa yang kelak memimpin negara yang mengayomi ratusan juta rakyat Indonesia. Secara historis, keotoriteran tidak sanggup memikul beban mengurus negara yang sangat besar ini, kerja sama seluruh pihak dan elemen bangsa baik kaum kelas atas atau kaum kelas bawah sama- sama memiliki andil dalam memberikan kontribusi untuk bangsa ini.
Pandangan pemerintah yang merasa nyaman dengan kekuasaan menjadikan seolah aturan bukanlah yang utama, sedangkan dalam bernegara pengelolaan negara didasarkan pada aturan atau UU bukan justru mengubah konstitusi menurut keinginan sendiri dengan dalih permintaan rakyat. Kelakar yang sangat menawan segelintir orang yang berada dalam lingkungan penguasa menginginkan untuk terus mendapatkan jabatan seolah jabatan mereka abadi tidak ada yang mampu menggantikan.
Pendidikan Kritis dan Kesadaran Politik
Menurut Paulo Freire: Masyarakat yang terdidik secara kritis dan sadar politik lebih mampu menentang kekuasaan yang tidak adil dan otoriter. Paulo Freire menegaskan akan pentingkan kaum terdidik yang kritis dan memiliki rasa patriot yang tinggi. Dengan kehadiran masyarakat yang kritis dan melek politik akan membuat keimbangan dalam tata kelola pemerintahan. Kebijakan yang seharusnya pro rakyat bisa diperjuangkan bukan justru menguntungkan para pemilik modal yang memegang perusahaan besar di negeri ini. Implikasi yang signifikan akan terjadi bila masyarakat sadar betapa pentingnya kritis demi keberlangsungan negara yang memihak rakyatnya.
Keterlibatan Sipil dan Demokrasi Partisipatif
Menurut John Dewey: Memperkuat demokrasi melalui partisipasi aktif warga negara dalam proses politik dan pembuatan kebijakan. John Dewey menguatkan rakyat harus terlibat aktif dalam berbagai kebijakan yang diambil pemerintah, awal mula ketimpangan kebijakan adalah rakyat tidak diikutsertakan dan kebijakan hanya menyasar pada konglomerat yang telah bekerja sama dengan pemerintah dalam merumuskan kebijakan. Berbagai kebijakan yang didasari dari kerahasiaan muka publik dimungkinkan adanya sesuatu yang tidak beres terkait hak dan keadilan yang diharapkan rakyat.
Sering kali kebijakan kontroversial menjadi bulan-bulanan publik karena diduga merupakan kebijakan pesanan dari para konglomerat yang diuntungkan oleh kebijakan tersebut. Idealnya jika pemerintah melihat secara akal sehat maka pemungutan pajak yang dimasifkan itu diambil dari para konglomerat yang memiliki aset dimana-mana bahkan telah menjamin kehidupan anak cucunya, sedangkan rakyat kelas bawah yang telah merasakan pahitnya ekonomi saat ini diharuskan pula membayar pajak yang beragam jenisnya ketimpangan nyata yang seolah dibiarkan.
Pembatasan Kekuasaan dan Pemisahan Kekuasaan
Menurut Montesquieu: Memastikan kekuasaan tidak terpusat dengan menerapkan sistem checks and balances antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.Montesquieu selaku peletak dasar pemisahan kekuasaan mewanti-wanti akan terjadi konflik kepentingan dan pengawasan yang terstruktur.
Dengan pemisahan kekuasaan ini akan menstabilkan pemerintahan secara terakumulatif. Sang eksekutif diawasi oleh legislatif yang sekaligus perancang dan pemutus aturan dan penindakan hukum akan dijalankan oleh yudikatif. Seyogyanya konsep ini menawarkan korelasi yang seimbang sehingga mampu menghadirkan keadilan bagi rakyat secara menyeluruh.
Namun ternyata pemisahan kekuasaan ini saja belum cukup harus pula diatur siapa saja yang berhak mengisinya, sebab terlihat praktik hari ini kekuasaan yang kurang terkontrol karena tidak berjalan konsep montesquieu dengan maksimal.
Kebebasan Pers dan Informasi
Menurut John Stuart Mill: Menjamin kebebasan pers dan akses informasi yang bebas untuk mengawasi dan mengkritik pemerintah. John Stuart Mill mengedepankan peran media dalam kebebasan demokrasi sebab dengan media pemerintahan tidak dapat berjalan sekehendak penguasa.
Media menjadi alat paling ampuh dalam memberikan efek jera utamanya bagi para pejabat yang melakukan tindakan pelanggaran. Sanksi sosial yang disebarkan lewat media akan membuat malu dan terpojok para pejabat yang serakah dan culas.
Hak Asasi Manusia dan Keadilan Sosial
Menurut Hannah Arendt: Memastikan perlindungan hak asasi manusia dan keadilan sosial sebagai dasar untuk mencegah kekuasaan otoriter. Kepastian hukum harus menjadi pegangan utama sebagai implementasi Indonesia negara hukum.
Kepastian ini hal mutlak tidak dapat ditawar namun realitanya kasus-kasus yang melibatkan pejabat negara tidak sama putusan pengadilannya dengan rakyat biasa. Hingga hari ini kepastian hukum terus menjadi PR bagi para pemimpin mendatang, betapa rakyat yang susah dengan keadaan harus dibebani putusan pengadilan yang tidak manusiawi.
Berbeda dengan para pejabat yang mencuri uang rakyat hingga triliunan mendapat hukuman ringan bahkan mendapat potongan masa tahanan. Sebuah ironi dari negara hukum ini, seolah mimpi namun nyata. Seperti ungkapan Voltaire ‘Apabila kita bicara soal uang, maka semua orang agamanya sama’. Ungkapan ini menjadi relita hari ini hingga putusan hukum pun dapat diatur oleh uang.
Penguatan Masyarakat Sipil
Menurut Alexis de Tocqueville: Mendorong pembentukan dan penguatan organisasi masyarakat sipil untuk mengimbangi kekuasaan negara. Sebagai penyeimbang dari aktualisasi program pemerintah harus dibuat organisasi masyarakat yang mengawasi jalannya program pemerintah.
Pengawasan yang dilakukan oleh lembaga terkait umumnya hanya menyasar pada daerah perkotaan atau daerah yang mudah diakses. Pada daerah pelosok yang sulit akses menuju ke tempat tersebut pengawasan sering dilewatkan. Maka perlu masyarakat secara legal formal membuat organisasi yang nantinya sebagai wadah mengawasi pemerintah bahkan memberikan masukan pada rencana atau program yang sedang berjalan.
Hari ini organisasi masyarakat justru banyak yang mengambil kesempatan dengan berlagak seolah berkuasa mengancam atau bertindak sesuka hati pada berbagai lembaga swasta untuk mendapat bagian dari proyek yang berjalan. Harapan yang tidak lagi sesuai pada cita-cita awal Alexis yang mengharapkan respon masyarakat dalam membuat kenyamanan di lingkungan mereka.