Oleh: Dr. Inoki Ulma Tiara, S.Sos, M.Pd
Dosen Pendidikan IPS Universitas PGRI Sumbar
Nagari secara filosofi dari negara-mini, maka memimpin nagari adalah gambaran memimpin Negara, Wali Nagari sebagai pimpinan pemerintah nagari berawal dari Nurus (2014, hlm 34) “kepemimpinan geneologis atau keturunan, kemudian berkembang menjadi kepemimpinan geneologis teritorial”. Genealogis keturunan atau silsilah nagari berasal jurai, paruik, kaum dan suku” yang menghuni dusun-dusun sebagai cikal bakal nagari.
Perkembangan genealogis keturunan (jurai, paruik, kaum dan suku) seiring dengan perkembangan teritorial yaitu dari beberapa dusun menjadi taratak, beberapa taratak menjadi koto, dan beberapa koto menjadi nagari. Genealogis keturunan membentuk kepemimpinan teritorial yaitu pangulu jurai, pangulu paruik, pangulu kaum atau pangulu taratak, dan pangulu nagari yang akhirnya berujung terbentuknya Kerapatan Adat Nagari (KAN). Pangulu yang bertingkat masih bisa kita temukan hari ini di nagari-nagari yang menganut kelarasan Koto Piliang yaitu pimpinan KAN dikenal sebagai inyiak palo atau pangulu pucuak di nagari-nagari yang menganut Kelarasan Koto Piliang. Inyiak Palo memimpin bersama-sama pangulu-pangulu lain yang tergabung dalam Kerapatan Adat Nagari (KAN).
Konsep wali nagari terpisah dari KAN di Minangkabau terjadi setelah perang Padri berakhir ketika Belanda mulai menata kekuasaannya di Minangkabau yaitu menata nagari Nurus (2014) “di masa Belanda Nagari dipimpin oleh kapalo nagari yang atasannya dikenal sebagai kepala laras (angku lareh) atau kepala kelarasan. Kelarasan ini terdiri dari beberapa nagari. Kepala nagari diangkat oleh residen tetap melalui Kerapatan Pangulu atau Kerapatan Adat Nagari. Rafles dalam Fatimah (2011) menyampaikan bahwa:
“Pada masa pemerintahan Belanda terdapat istilah Laras. Laras dibentuk bila nagari mempunyai adat yang sama dalam bentuk federasi (gabungan) yang sering dengan dengan Koto, seperti sebutan IV Koto VI Koto dst.
Pada masa Belanda tahun 1937 di Tanah Datar terdapat empat belas Kelarasan dan di Agam dua belas Kelarasan.” Fungsi kepala nagari oleh pemerintahan Belanda untuk perpanjangan tangan mulai dari fungsi administrasi menghitung jumlah penduduk, sumber daya yang dimiliki nagari, memungut pajak, mengawasi gerak gerik warga nagari. Sistim pemerintahan nagari ini bertahan cukup lama mulai dari berakhirnya Perang Padri sampai Kota Padang jatuh ke tangan Jepang pada tanggal 17 Maret tahun 1942 atau sekitar 105 tahun. Jepang meneruskan konsep kepala nagari.
Mardjani dalam Fatimah (2011) “Kepala Nagari di masa Jepang dikenal dengan konsep Fuko Gun Cho unit pemerintahan terkecil.” Jepang meneruskan sistim nagari sebelumnya dengan tujuan mendapatkan sumber daya manusia, pangan, energi demi kepentingan militer Jepang dalam menghadapi perang sampai 6 Agustus dan 9 Agustus tahun 1945 ketika Nagasaki dan Hirosima dibom atom oleh sekutu dan Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu.
Jepang menyerah kepada Sekutu maka terjadi kekosongan kekuasaan di Indonesia sehingga melahirkan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Soekarno Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia atas bangsa Indonesia. Berita proklamasi sampai ke Sumatera Barat di akhir Agustus. Pembacaan proklamasi di Sumatera Barat disampaikan oleh Muhammad Sjafei pada tanggal 29 Agustus 1945 di Bukittinggi.
Setelah proklamasi tokoh-tokoh Minangkabau membentuk keresidenan Sumatera Barat dengan terobosan besar pemilihan umum wali nagari (dipilih oleh masyarakat) yaitu sekitar tahun 1946. Enar et al. (1978) menyatakan bahwa “tindakan-tindakan yang diambil dalam perbaikan pemerintah /pejuang pemilihan wali-wali nagari di setiap kenegarian di Sumatera Barat (±500 kenegarian).” Pemilihan pertama wali nagari di tahun 1946 menjadi turning point demokrasi di nagari-nagari di Minangkabau. Pemilihan Wali Nagari secara demokratis dan langsung, ini membuktikan wali nagari-wali nagari yang dikehendaki dan dipilih oleh rakyat nagari itu sendiri.
Disisi lain pemerintahan nagari dibentuk untuk menjalankan pemerintahan terbawah dan dipersiapkan untuk perang menghadapi kedatangan kembali Belanda. Asumsi-asumsi tersebut terbukti dengan kedatangan sekutu dan agresi Belanda pertama serta kedua. Keberhasilan perjuangan bangsa Indonesia menghadapi Belanda dengan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tanggal 30 Desember 1949 dengan ditanda tangani perjanjian Den Haag.
Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda maka harapan besar Indonesia berdaulat, makmur, dan adil serta sejahtera bisa terwujud, yang terjadi malah sebaliknya. Kahin (thn 2005, hlm 251) “antara tahun 1949 dan 1951 pemerintah pusat melakukan tindakan draconian (keras dan kejam) terhadap institusi sipil dan militer Sumatera Barat, sehingga membuat orang Minangkabau merasa dikhianati sebagai buah dari kesetiaan yang mereka tunjukkan selama masa perjuangan kemerdekaan” dan ditambah kesenjangan antara pusat dan daerah. Kekecewaan melahirkan tuntutan otonomi luas untuk daerah dan pembagian hasil pajak pusat dengan daerah kepada pemerintahan Soekarno.
Puncak dari semua protes dan kekecewaan ketika itu digambarkan oleh Kahin (thn 2005, hlm 328) 15 Februari 1958 Ahmad Husein mengumumkan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang. Ahmad Husein adalah Kolonel Angkatan Darat sekaligus pimpinan Dewan Banteng. Peristiwa PRRI bagi wali nagari-wali nagari di Sumatera Barat mengalami/melahirkan dilema. Mereka mendukung tuntutan otonomi Dewan Banteng tetapi tidak menentang pemerintah pusat secara militer. Pernyataan PRRI dijawab dengan serangan militer oleh tentara pusat (pemerintahan Soekarno) terhadap kekuatan PRRI dengan diperintahkan Kolonel Achmad Yani dengan nama operasi 17 Agustus tahun 1958. Kolonel Achmad Yani dikenal kemudian hari sebagai Letjen Achmad Yani sebagai pahlawan revolusi.
Di masa perlawanan PRRI, Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pendukungnya menentang PRRI.
PRRI mengalami kekalahan di tahun 1961, kekalahan PRRI bagi PKI dan pendukungnya membuat mereka dalam posisi kemenangan sehingga pada periode ini pemilihan wali nagari pada tahun 1961 dimenangkan beberapa wali nagari yang mempunyai hubungan dengan PKI.
Eforia pendukung komunisme di Sumatera Barat tidak berjalan lama. Peristiwa G 30 S PKI 1 Oktober 1965 merubah seluruh kegembiraan PKI menjadi kesengsaraan tak berujung. Komunis yang sebelumnya merasa berkuasa di Sumatera Barat diburu militer dan masyarakat. Wali nagari-wali nagari yang menjadi bagian dari PKI mengalami nasib dengan tragis, tidak lama sesudah itu Soekarno jatuh dan Soeharto menjadi presiden Indonesia.
Semasa Orde Baru yang dimulai ketika Soeharto berkuasa pada tanggal 12 Maret 1967 Nagari tetap dibiarkan menjadi pemerintahan Nagari walaupun mulai diintervensi sedemikian rupa, salah satunya wali nagari bagian dari partai Golkar dan Nagari berakhir ketika dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tentang Pemerintahan Desa tahu 1979 yang diberlakukan tahun 1983 di Sumatera Barat. Harisnawati., Rahayu, Sri Wahyuni (2018):
“Setelah diberlakukan UU No. 5 tahun 1979 terhitung sejak tanggal 1 Agustus 1983 seluruh jorong yang merupakan bagian organik dari nagari dinyatakan sebagai desa. Dengan demikian nagari bukan lagi berkedudukan sebagai unit pemerintahan terendah di provinsi Sumatera Barat, akan tetapi semata-mata kesatuan masyarakat hukum adat.”
Dari bulan Agustus 1983 jorong-jorong yang sebelumnya bagian dari nagari menjadi desa, maka hilanglah nagari dalam litelatur Sumatera Barat. Tidak ada lagi pemilihan wali nagari yang ada pemilihan kepala desa. Satu-satunya pengikat desa-desa yaitu Kerapatan Adat Nagari (KAN) walaupun keberadaan dan fungsi KAN di banyak nagari mati segan hidup tak mau.
Reformasi bergulir dengan berhentinya Soeharto sebagai presiden pada tanggal 21 Maret 1998. Salah satu ruang yang diberikan oleh reformasi adalah otonomi daerah dengan keluarnya undang-undang No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Kuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Perguliran isu otonomi daerah akhirnya tahun 2000-2001 mengembalikan pemerintahan desa ke pemerintahan nagari.
Perjalanan panjang Nagari di Minangkabau sebagai identitas territorial sekaligus identitas genealogis seharusnya melahirkan nagari sebagai lembaga pemerintahan sekaligus lembaga budaya.
Daftar Pustaka
Enar, Fatimah, Abizar, and Nurhadi. 1978. Sumatera Barat 1945-1949. Padang: Pemerintahan Daerah Sumatera Barat.
Fatimah, Siti. 2011. “Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Minangkabau Pada Masa Pendudukan Jepang.” Tingkap 7(1):75–88.
Harisnawati., Rahayu, Sri Wahyuni, Intan Sari. 2018. “Eksistensi Pemerintahan Nagari Di Sumatera Barat Dalam Kajian Sejarah.” Jurnal Bakaba 7(2):21–30.
Kahin, Audrey. 2005. Dari Pemberontakan Ke Integrasi Sumatra Barat Dan Politik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Nurus, Shalihin. 2014. Demokrasi Di Nagari Para Tuan. Padang: Imam Bonjol Press.
Foto: kantor wali nagari Surian. Diakses dari google.