Randai dari Tanah Datar “Zonk”, kepada Siapa Kita Mengadu

Sebuah Refleksi dari Festival Randai
Oleh: Irwan Malin Basa
(TACB di Kab. Tanah Datar)

Dengan berakhirnya festival atau penampilan randai se-Sumbar semenjak tgl 7-9 September 2021 kemaren di Taman Budaya kota Padang, tak satupun group randai dari Luak Nan Tuo masuk nominasi (5 besar) terbaik. Tanah Datar “Zonk”. Berita ini tentu menampar wajah kita semua masyarakat Tanah Datar termasuk warga Tanah Datar yang di perantauan. Berita ini cukup heboh di berbagai group perantau dan group kebudayaan. Apa yang sebenarnya terjadi dengan kebudayaan di Tanah Datar?

Untuk melihat persoalan tersebut tentu banyak variabel yang harus kita sigi dan tidak patut pula kegagalan tersebut kita limpahkan kepada salah satu kelompok saja, atau kepada dinas tertentu saja. Yang jelas, ini adalah tantangan bagi Pemerintah Daerah dan juga masyarakat serta pelaku seni budaya. Apa variabelnya?

Pertama, harus kita lihat terlebih dahulu anggaran kebudayaan yang dialokasikan untuk pembinaan seni budaya di Kab. Tanah Datar. Pada tahun 2021 ini anggaran total untuk seluruh kegiatan Bidang Kebudayaan di Tanah Datar hanya sekitar 300 JT. Sangat sedikit sekali. Usulan anggaran yang rasional telah diajukan namun banyak yang dipotong tanpa alasan yang jelas. “Pisau” TAPD dan Banggar lebih tajam dari argumen dan data dari bidang kebudayaan. Mereka main Potong saja. Kita belum merdeka dalam Anggaran.

Kedua, kegiatan kebudayaan di Tanah Datar harus diakui banyak dari “belas kasihan” pihak lain seperti dari dana provinsi, dana pusat seperti dari Kemendikbud dan dana bantuan pihak lain. Sepertinya bidang kebudayaan dipandang sebelah mata sedangkan kita selalu berbicara adat, budaya, seni tradisi, pelestarian, pewarisan, dll. Kebudayaan baru sebatas lips service saja dan dijadikan sorak sorai kemana mana bahwa Luak Nan Tuo adalah pusat kebudayaan.

Baca Juga :  Sah! MUBES Alumni Univ. Bung Hatta Siap Digelar di Batusangkar Tahun Ini

Padahal Undang Undang no.5 th 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan sudah tegas tegas mengamanatkan kita untuk secara bersama sama memajukan objek kebudayaan. Kalau bicara persentase anggaran, 20% dari APBD itu untuk pendidikan yang notabene di dalamnya ada bidang kebudayaan. Sudah berapa persen kah APBD Tanah Datar untuk itu? Silakan dihitung sendiri!

Ketiga, partisipasi dan kecintaan masyarakat yang mulai pudar. Eksistensi seni budaya tradisional sudah menurun. Pelakunya pun mulai menghilang. Masyarakat tidak banyak yang peduli dengan seni budaya sendiri. Randai misalnya, kalah pamor dengan pertunjukan seni modern. Padahal randai adalah salah satu warisan budaya kita.

Secara antropologi, masyarakat kita masih sebagai highlander community yaitu masyarakat yang menganggap sesuatu yang datang dari luar itu lebih baik, lebih hebat dan lebih bergengsi. Semestinya kita menjadi masyarakat yang inlander community yaitu masyarakat yang merasa bangga dengan milik mereka sendiri.

Keempat, tantangan ekonomi bagi pelaku seni budaya. Tak bisa dipungkiri bahwa kebutuhan hidup dan tantangan hidup semakin kuat. Dengan berkesenian para pelaku seni belum bisa mendapatkan “sesuatu” yang berarti jika mereka tidak mencari usaha lain. Seni budaya di zaman modern tidak bisa sebatas hoby dan tontonan gratis. Dalam randai misalnya, pelaku seni setidaknya menyediakan waktu dua atau tiga hari untuk persiapan tampil di sebuah even. Dalam tiga hari itu jika “Zonk” saja tentu banyak persoalan yang timbul…..(bersambung).