Menilik Peran Perempuan dalam Kontestasi Politik Indonesia

Oleh: M. Jibril Dihya Azzikra
(Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas)

Dewasa ini, politik menjadi topik yang kerap disenandungkan. Pembahasan mengenai politik terus menjadi perbincangan hangat yang selalu berseliweran dimana saja, baik itu di media online maupun offline. Politik saat ini bukan lagi terbatas oleh kelompok-kelompok tertentu saja, namun bisa diikuti oleh setiap orang.

Apabila berbicara tentang politik, tentu tidak bisa dipisahkan dari persoalan tentang pemilu. Keterbukaan dalam berpolitik saat ini menjadi berkah serta membuka jalan bagi setiap orang untuk ambil bagian dalam kontestasi pemilu. Begitu juga dengan perempuan Indonesia, dimana saat ini mereka dapat ikut serta dalam kontestasi yang ada.

Keterlibatan perempuan dalam politik pun semakin didukung dengan disahkannya UU tentang Partai Politik yang mengharuskan setiap partai politik menyertakan 30% keterwakilan perempuan.
Namun sayang seribu sayang, partisipasi perempuan Indonesia dalam parlemen masih sangat rendah. Menurut data dari World Bank tahun 2019, Indonesia menduduki peringkat ke-7 se-Asia Tenggara untuk keterwakilan perempuan di parlemen. Rendahnya angka keterwakilan perempuan di parlemen dapat berpengaruh terhadap isu kebijakan terkait kesetaraan gender.

Berdasarkan hasil Pemilu 2019, keterwakilan perempuan di Lembaga Legislatif Nasional, DPR RI, berada pada angka 20,8% atau 120 anggota legislatif perempuan dari 575 anggota. Hal ini tentu menjadi pertanyaan kita bersama, mengapa keterwakilan perempuan masih sangat rendah? Apa yang menyebabkan hal tersebut dapat terjadi?

Menurut riset State of The World’s Girls Report (SOTWG) yang dipublikasikan oleh Plan Indonesia pada awal tahun 2023 menyebutkan bahwa 9 dari 10 perempuan percaya bahwa partisipasi politik itu penting, namun para perempuan itu juga mengakui adanya hambatan- hambatan dalam proses partisipasi tersebut. Hambatan-hambatan ini umumnya berasal dari stereotipe yang berkembang di masyarakat luas yang meragukan kinerja dari perempuan itu sendiri.

Baca Juga :  Pelantikan Pengurus Nasdem Sumbar, Semangat Perubahan Menggema ke Seantero Ranah Minang

Di Indonesia yang umumnya menganut sistem nilai patriarki, menimbulkan persepsi bahwa keterlibatan perempuan dalam dunia politik bertentangan dengan kodrat mereka, yaitu mengurus rumah tangga, bukan mengurus negara. Politik direpresentasikan sebagai urusan laki-laki dan perempuan dinilai tidak akan mampu mengimbangi kinerja laki-laki dalam dunia politik. Fakta ini menunjukkan bahwa Indonesia belum sepenuhnya bisa menerapkan sila ke-5 Pancasila, yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.

Sudah menjadi keharusan bagi kita semua untuk mendorong keterlibatan perempuan dalam politik, karena negara ini haus akan pemikir dari golongan perempuan. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut, seperti menghapus diskriminasi yang mengelilingi perempuan yang terjun ke dunia politik. Selain itu, peningkatan kualitas pendidikan politik juga menjadi cara lain yang bisa ditempuh. Sosialisasi terkait pentingnya peran perempuan dalam pengambilan kebijakan publik harus konsisten dilakukan, supaya pemahaman publik akan krusialnya kehadiran perempuan di parlemen meningkat.

Apabila semua itu bisa terlaksana, diharapkan pada tahun 2024 kita bisa melihat wajah-wajah baru dari golongan perempuan yang duduk di kursi parlemen yang menjadi bukti bahwa perempuan tidak lagi berada di bawah bayang-bayang para laki-laki, namun juga bisa berdiri sejajar dengan mereka. (*)