Opini  

PKBM GEMPITA,Penyambung Hati Nurkhalis Dalam Mimpi Anak Petani

Pinggiran Kota Padang – Tiada yang tak mungkin. Ada niat, ada giat, hati kuat, Insya Allah jadi berkah. Bermodal uang saku pribadi sebesar Rp 1 Juta, Nurkhalis, seorang aktivis petani Sumbar mampu mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Gempita di pinggiran Kota Padang bersama sang istri. Tepatnya disamping rumah di RT 01 RW 07 Pasar Lalang, Kuranji. Sekolah gratis untuk anak petani dan anak putus sekolah yang terkendala biaya.

Bak ucapan Rhonda Byrne, penulis buku Best Seller, The Secrets “Pikiran adalah magnet yang menarik kenyataan. Ucapan ini sekiranya pantas disematkan pada Nurkhalis. Hampir separuh waktu dihabiskan memikirkan bagaimana meningkatkan taraf hidup dan masa depan petani. Keinginan dan pikiran inilah, Cikal Bakal PKBM Gempita terlahir.

Walaupun PKBM Gempita terbilang Second Choise (pilihan kedua-red), namun jadi alternatif bagi petani di Pinggiran Kota Padang agar anaknya bisa bersekolah. Ada juga remaja atau orang lanjut usia yang dulunya putus sekolah. Alangkah rugi anak bangsa jika tidak mengenyam pendidikan yang layak.

Rabu (21/10/2020), jelang embun pagi mulai sirna terurai sinar mentari, lorong sekolah yang bercat warna-warni ini sudah dipadati para murid. Guru-guru juga ambil bagian. Mereka berdiri didepan pagar sekolah sembari menyalami dan menyapa para murid. Pagi ini, PKBM Gempita menjadwalkan anak-anak petani usia PAUD.

Murid-murid belia ini pun berbaris menyambut sambutan hangat para guru yang masih tergolong muda. Mereka sudah paham aktivitas pagi hari, bakal ada musik riang. Aba-aba untuk senam pagi. Polesan yang mujarab merangsang semangat anak-anak menyambut hari.

Sekolah ini memang belum sepadan jika dibandingkan dengan sekolah formal lain. Hanya ada empat kelas. Yang satu kelasnya dimanfaatkan sebagai kantor Tata Usaha. Tiga kelas lain untuk mengajar. Di PKBM Gempita sudah tercata 28 murid PAUD dan 134 siswa paket (SD, SMP dan SMA-red).

Setiap pagi, PKBM Gempita dibuka untuk anak-anak PAUD. Siang sampai malam diisi proses belajar dan mengajar anak-anak Paket. Rangkaian kegiatan yang sudah berlangsung sejak 2018 silam. Dua tahun berdiri, sudah banyak suka duka yang dijalani pengelola dan siswa. Tentunya, harapan dan semangat anak-anak petani untuk berpendidikan jangan sampai pudar.

Sebelum ada pandemi Covid-19, pembelajaran untuk PAUD dilakukan seperti jadwal biasa. Untuk siswa Paket, PBM dilakukan tiga kali seminggu. Namun Covid-19 membuat jadwal terganggu. Siswa PUAD hanya tiga kali bisa belajar dalam seminggu. Sedangkan siswa Paket belajar dua kali seminggu.

“Karena pandemi, anjuran PBM diminta untuk Daring. Tapi disini susah diterapkan. Mayoritas para siswa dari keluarga tidak mampu. Banyak tidak punya HP dan Laptop. Akhirnya kami memutuskan agar PBM tetap berlangsung dengan protokol kesehatan di sekolah. Jaga jarak, kurangi jam belajar, dan memakai masker,” kata Nurkhalis.

Baca Juga :  Proyek Vital Mangkrak, Gugatan Class Action Menunggu, Citra Bupati Mulai Menurun?

Soal kurikulum, PKBM Gempita sama dengan sekolah yang lain. Anak PAUD dilatih bermain, bernyanyi, menari, keterampilan, menulis dan membaca. Siswa Paket diajarkan Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Sejarah. geografi, PPKn dan mata pelajaran sekolah umum lainnya. Sesuai jenjang pendidikan Paket yang diikuti.

PKBM Gempita ini dikelola langsung oleh sang istri bersama sepuluh guru lain. Salah satunya Mertua Nurkhalis sendiri yang merupakan Pensiunan Guru.

Terlahir Dari Dangau

Bila bercerita bagaimana PKBM Gempita ini berdiri. Jawabannya dari sebuah dangau milik salah seorang petani di Kabupaten Agam. Kala Nurkhalis ingin menyampaikan salah satu program pemberdayaan petani, ia mendapati realita pahit di kalangan petani yang tak banyak diketahui. Masih ada petani yang buta huruf dan mereka juga tidak terlalu mempedulikan pendidikan bagi anak sendiri.

“Itu tahun 2017 silam. Saya temukan beberapa petani di Kabupaten Agam yang tak bisa membaca. Saya ajak mereka duduk di sebuah dangau dan mereka pun blak-blakan bagaimana dulu bersekolah. Termasuk nasib pendidikan anak-anak mereka sendiri. Dari sinilah banyak hal yang tak banyak diketahui yang orang saya dengar. Akhirnya, muncul niat untuk membuat sekolah gratis bagi anak-anak petani,” ucap Nurkhalis.

Nurkhalis juga mencoba mencari data dan survey soal berapa banyak petani yang buta huruf dan nasib pendidikan anak-anak petani. Hasilnya, 14 persen petani Sumatera Barat masih buta huruf. Kemudian 40 persen petani belum mendapatkan pendidikan yang layak. Banyak diantara mereka yang terhenti di jenjang SD. Fenomena tersebut juga menurun pada anak-anak petani. Mayoritas alasan terkendala biaya.

“Bagaimana kehidupan petani kita bisa maju dan berkembang. Modal untuk menambah wawasan dan mengasah kemampuan saja sangat terbatas. Mereka tidak bisa masuk dalam dunia saing dan arus modernisasi. Bisa dipastikan nasib mereka akan stagnan dan bahkan akan lebih parah di kemudian hari. Persoalan dasarnya itu ada dalam diri mereka sendiri yaitu SDM yang rendah. Jadi rasanya ingin memberikan solusi. Walaupun tidak bisa berskala besar, tapi bisa berbuat. Minimal ada nanti berbekas pada anak-anak petani,” sebut Nurkhalis.

Tak Pungut SPP, Tapi Sediakan Gaji Untuk Guru

Tak mudah rasanya menjalankan sebuah sekolah tanpa uang. Apalagi, tenaga pengajar juga butuh makan. Mereka bekerja, harus diberi upah. Sedangkan hidup Nurkhalis sama dengan petani lain. Ada uang jika ladang sudah panen. Hanya saja bathin terus tergerak bagaimana taraf kehidupan petani bisa lebih baik.

Baca Juga :  Menggagas Museum Danau Singkarak: Sebuah Inovasi untuk Pemda Tanah Datar

“Saya hanya mengucapkan bismillah. Yakin Allah SWT akan bantu. Dan Alhamdulillah, sejak PKBM Gempita berdiri, tidak putus-putus bantuan yang masuk sampai sekarang,” kata Nurkhalis.

Bantuan pertama yang diperoleh adalah rumah kecil type 36 yang disumbangkan tetangga. Diperbolehkan dipakai selama ada banyak manfaat. Girang hati Nurkhalis dan istrinya mendapat bantuan rumah kecil ini. Uang sejuta rupiah yang masih di tangan, langsung dimanfaatkan untuk mengurus legalitas. Sekejap, uang inipun habis.  

Setelah itu, rumah kecil ini harus diisi dengan fasilitas dan aksesoris PBM. Malu rasanya jika patah arang. Apalagi tetangga sudah tahu kalau Nurkhalis akan bikin sekolah gratis. Ditambah lagi, beberapa anak petani dan anak putus sekolah sudah mulai datang ke rumah untuk belajar.

Putar otak, matikan gengsi dan uji nyali. Nurkhalis dan istri bergerilya ke teman dan sanak saudara. Diceritakanlah tentang niat dan rencana sekolah gratis ini. Alhamdulillah, Bantuan Allah SWT benar-benar dirasa masa ini. Banyak yang takjub dan respect. Bantuan mengalir tanpa diduga-duga.

“Ada-ada saja bantuan yang datang. Ada yang ngasi kayu, semen, buku, papan tulis, batu, cat, sampai ubi untuk cemilan. Bahan-bahan material ini yang diolah jadi kelas, meja, kursi, alat bermain anak-anak. Pekerjanya dari anak-anak siswa paket. Selain bertani, terkadang mereka jadi buruh bangunan untuk sampingan. Sampai akhirnya PKBM Gempita punya fasilitas yang memadai untuk PBM seperti sekarang,” kata Nurkhalis.

Soal gaji guru pun sama. Dibayar dari sumbangan para dermawan. Namanya sumbangan, sifatnya tak bakal tetap. Kadang ada, kadang tidak. Apalagi sekolah ini tidak ada memungut sepersen pun uang SPP dan siswa.

Awal-awal PKBM Gempita berdiri, gaji guru yang nominalnya tak seberapa sering kali macet. Tapi para guru sadar betul dengan kata merintis.

Masa-masa sulit ini mulai berkurang diawal tahun 2019. Setelah Dinas Pendidikan Kota Padang melegalkan PKBM Gempita sebagai yayasan pendidikan mandiri. Pundi-pundi kas yayasan mulai terisi dari bantuan tetap pemerintah. Bantuan yang bisa membuat gaji guru tidak macet lagi dan menambah beberapa alat bantu PBM.

Cerita Cita-Cita

Di PKBM Gempita, ada menyediakan kelas paket. Jam belajarnya dicocokkan dengan waktu-waktu kosong para siswa. Ada yang bisa belajar siang, sore atau malam. Yang jelas, siswa harus mengikuti PBM minimal dua kali dalam seminggu selama masa Pandemi Covid-19. Alasan memberikan waktu belajar yang fleksibel ini karena mayoritas para siswa sudah bekerja. Ada yang petani, buruh bangunan, sampai tukang ojek. Maklum saja, karena para siswa berasal dari lintas usia. Bahkan ada yang sudah berkepala empat dan berkeluarga.

Baca Juga :  Jelang Pilkada Tanah Datar: Head to Head Eka - Richi Siapa Unggul? Ini Kunci Kemenangan

Banyak cerita yang bisa dirangkai dari alasan para siswa mau kembali bersekolah. Mulai ingin dipandang secara sosial, mencari kerja lebih layak sampai melanjutkan pendidikan lebih tinggi.

M, Rizal (44) misalnya. Ia mengikuti kelas paket C di PKBM Gempita ini agar dapat ijazah SMA. Sedangkan anaknya sendiri sudah dua orang kuliah di perguruan tinggi. Selain ingin mengangkat derajat secara sosial, Rizal juga ingin mengasah kecerdasan.

Sadar betul diri jika anaknya tak ada teman diskusi yang mumpuni di rumah. Bisa saja si anak tak betah di rumah atau susah dinasehati. Akhirnya, si anak lebih memilih menghabiskan banyak waktu di luar dan bisa jadi liar tanpa pengawasan orang tua.

“Namanya anak yang sudah mulai beranjak dewasa, pasti akan mencari jati diri. Kalau tak ada kemampuan saya untuk menasehati dan jadi teman diskusi. Mungkin bosan di rumah dan banyak di luar. Makanya saya ingin belajar. Setidaknya bisa mengimbangi pola pikir anak saya,” kata Rizal.

Beda hal dengan Rizki (18), remaja yang putus sekolah di jenjang SMP. Walaupun sudah tak lagi remaja, ia punya keinginan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang SMA. Besar harapan kelak nanti bisa melanjutkan sekolah hingga perguruan tinggi. Mencari pekerjaan yang lebih layak dari profesi hari ini yaitu sebagai Driver Ojek Online.

“Saya ikut kelas Paket B biar dapat ijazah SMP. Jadi ijazahnya bisa untuk sekolah ke SMA. Walaupun usia saya sekarang sebenarnya sudah tamat SMA. Tapi mudah-mudahan ada jalan untuk mengubah nasib dan sampai sarjana,” ucapnya.

Istri Nurkhalis, Silvia Sismona yang juga pengelola PKBM Gempita menyebutkan dalam mendidik siswa kelas paket, perlu beberapa metode agar suasana PBM terasa nyaman dan bersemangat. Akan ada situasi bagaimana yang mengajar bisa dikatakan seusia dengan anak dari siswa.

“Siswa kami dari lintas usia. Ada yang tidak muda lagi. Sedangkan guru-guru kami seluruhnya masih tergolong muda. Bahkan ada juga yang masih mahasiswa. Jadi dalam PBM yang kami laksanakan harus menggunakan beberapa metode. Ini biar tidak kaku dan suasana bisa senyaman mungkin. Bayangkan jika gurunya seusia anak siswa,” kata Mona.

Selain memberikan pelajar sesuai kurikulum dan mata pelajaran, para siswa diberikan wawasan bagaimana bisa produktif dalam dunia kerja. Termasuk memberikan keterampilan yang bisa menghasilkan uang.

PKBM Gempita mungkin sisi lain di dunia pendidikan. Namun, lembaga ini punya peran sendiri bagaimana mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan tak bisa di pandang sebelah mata. Miliaran nasib manusia terletak bagaimana mereka dididik