Oleh: Irwan (Dosen UIN Batusangkar, Peneliti dan Penggiat Kebudayaan)
Salah satu bentuk kepedulian bagi masyarakat Minangkabau (baik suku maupun kaum) terhadap kesejahteraan penghulunya adalah menyediakan sawah Kagadangan atau Sawah Singguluang. Sawah ini diperuntukkan bagi seorang penghulu yang memakai gelar adat. Seorang penghulu berhak atas pengelolaan dan hasil sawah tersebut.
Luas sawahnya relatif saja. Tetapi standar umum biasanya sawah tersebut bisa menghasilkan padi sekitar 15 – 20 ketiding padi (sekitar 750 – 1000 gantang) setiap panen.
Sawah tersebut tidak boleh digadaikan apalagi dijual oleh seorang penghulu atau oleh kaumnya. Sebab, sawah tersebut adalah merupakan marwah dan harga diri sebuah suku dan kaum, dan juga harga diri seorang penghulu.
Hasil sawah tersebut dapat dimanfaatkan oleh seorang penghulu yang menyandang gelar adat di kaumnya untuk keperluan biaya mengurus kemenakan, mengurus kaum dan suku. Boleh juga dimanfaatkan untuk kebutuhan anak istrinya.
Seorang penghulu yang tidak memiliki pekerjaan tetap atau penghasilan tetap tentu dia harus menanggung beban yang berat; anak dan kemenakan. Jadi, untuk membantu biaya operasional penghulu tersebut dibentuklah sawah Kagadangan tersebut.
Namun, banyak fakta ditemukan bahwa sudah ada sebagian sawah Kagadangan atau Sawah Singguluang tersebut yang sudah tergadai dan terjual. Dan adapula yang sudah beralih fungsi. Misalnya, dijadikan kolam ikan, dibuat pondok atau dijadikan ladang, dibuatkan kandang ternak di atasnya sehingga penghulu tidak lagi memiliki sawah Kagadangan.
Apa upaya yang harus dilakukan?
Menurut hemat saya, jika memang seorang penghulu tidak lagi memiliki sawah Kagadangan atau Sawah Singguluang tersebut tentu kaumnya harus bersepakat untuk mencarikannya kembali dengan berbagai cara. Jika tidak, tentu seorang penghulu tidak akan bisa bekerja secara maksimal mengurusi kemenakan nya dan mengurusi persoalan adat di nagari.
Bagi seorang penghulu atau Datuak yang tidak memiliki sawah Kagadangan namun masih memiliki pekerjaan dan penghasilan yang cukup, tentu dia masih bisa menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik.
Sawah Kagadangan tersebut memiliki nilai kearifan ekonomi bagi masyarakat Minangkabau sejak zaman dahulu. Segala sesuatunya sudah difikirkan oleh nenek moyang kita dari dahulu. Ibarat kata, sawah Kagadangan adalah “tunjangan” tambahan untuk seorang penghulu.
Selain memiliki sawah Kagadangan tentu seorang penghulu harus memiliki pekerjaan atau penghasilan tambahan lainnya. Karena sawah Kagadangan tentu tidak bisa mencukupi kehidupan seorang penghulu. Bak kata mamangan adat: anak digadangkan Jo pancarian, kamanakan dibantu Jo Pusako.
Seandainya sawah Kagadangan tidak bisa atau tidak ada lagi yang bisa dibeli misalnya, tidak ada salahnya sebuah kaum menyediakan biaya operasional untuk seorang penghulu nya yang setara dengan jumlah padi tersebut diatas.
Jangan kita hanya menyalahkan penghulu saja jika dia tidak maksimal mengurus kemenakan nya! Eksistensi seorang penghulu adalah eksistensi sebuah kaum, suku, jorong dan nagari, termasuk eksistensi sebuah peradaban kebudayaan yang disebut Minangkabau. (*)