Oleh: Irwan Malin Basa (Dosen UIN Batusangkar)
Istilah Gastronomi belum terlalu familiar bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia meskipun keilmuan gastronomi sudah dikenal sejak ratusan tahun yang lalu. Istilah Gastronomi ditemukan tidak hanya pada dunia kuliner, tetapi juga ada dalam keilmuan lain yang relevan. Dalam tulisan ini penulis akan membahas Gastronomi di Minangkabau, tentunya yang terkait dengan makanan dan minuman tetapi dengan perspektif yang lebih kompleks.
Gastronomi adalah sebuah cabang keilmuan yang terkait dengan makanan dan minuman dalam sebuah komunitas. Bagaimana sejarah makanan tersebut, apa makna filosofis nya, makna antropologi nya, kemasan, bentuk, seni penyajian, bahan dan apa hubungan nya dengan ritual atau momen disajikan. Jika itu diteliti secara lengkap, itulah yang disebut Gastronomi.
Hampir seluruh kuliner tradisional atau kuliner adat di Minangkabau memiliki filosofi tersendiri. Sebutlah misalnya, silamak, wajik, pinyaram, sarabi, randang, gulai kambing, bubur , dan lainnya. Kesemuanya itu memiliki kajian tersendiri, bukan dibuat dan disajikan sesuka hati.
Jumlah dan tatacara penyajiannya pun berbeda sesuai peruntukan nya. Misalnya, ada di sebagian nagari silamak atau nasi lamak itu disajikan ketika acara pesta perkawinan. Jumlah potongannya ada yang genap namun ada pula yang ganjil.
Begitu juga dalam kemasan. Ada yang dibungkus dengan daun pisang dan ada pula yang disajikan terbuka tanpa bungkusan. Ada pula penyajiannya disertai dengan pisang, wajik ataupun pinyaram. Namun ada pula yang tunggal saja.
Warnanya pun memiliki aturan tersendiri. Ada silamak yang terbuat dari beras putih dan ada pula yang sari beras ketan atau pulut berwarna kuning. Ada pula yang menggunakan beras pulut merah dan hitam.
Jika kita bisa menguraikan seluruh aspek kuliner itu dari berbagai perspektif keilmuan, itulah yang disebut Gastronomi. Dan harus disadari bahkan diakui bahwa suatu komunitas dalam membuat kuliner pasti memiliki nilai filosofi tersendiri sesuai dengan apa yang mereka warisi.
Tapi kini kebanyakan kuliner disajikan lebih dominan untuk kepentingan bisnis dan wisata. Atau sekedar untuk pertunjukan atau pameran. Agar lebih tertata nya kuliner itu kembali tentu perlu kajian dari para pakar melalui gastronomi ini.
Sebagai contoh, di Pariangan yang dikenal sebagai negeri asal usul Minangkabau, kuliner untuk bercocok tanam saja berbeda. Pada acara membajak sawah misalnya, kulinernya akan berbeda dengan memanen padi. Dalam acara sunat rasul akan berbeda pula kulinernya dengan acara mendoa kematian.
Kesimpulannya, perlu kuta kaji gastronomi yang ada di Minangkabau agar kuliner itu tidak asal dibuat saja, apalagi hanya dibuat untuk tujuan konten kreator yang kadang kadang sering juga melecehkan.
