Mengenal Beberapa Pepatah Petitih Minangkabau dan Maknanya

Oleh: Indah Aprilika Tanjung (mahasiswi Sastra Minangkabau, Universitas Andalas))

Di Minangkabau kita sering mendengar istilah pepatah-petitih, jadi apa itu pepatah-petitih? Pepatah merupakan pribahasa yang di dalamnya berisi sebuah nasehat atau ajaran dari orang tua, sedangkan petitih adalah suatu aturan yang di dalamnya mengatur tentang pelaksanaan yang ada di adat tersebut secara seksama. Jadi dapat kita satukan bahwa Pepatah-petitih yang ada di Minangkabau adalah suatu nasehat bagi orangtua zaman dahulu untuk memberikan nasehat atau petuah yang terkandung nilai-nilai falsafah hidup yang ada di Masyarakat Minangkabau atau seperti pribahasa Minangkabau yang sumbernya dari alam.

Berikut adalah beberapa pepatah-petitih di Minangkabau dan artinya:

  1. Bajalan paliharo kaki, bakato paliharo lidah (berjalan pelihara kaki, berbicara pelihara lidah) maksudnya yaitu saat kita berjalan kita harus berhati-hati dalam melangkah dan saat kita ingin berbicara kita juga harus pelihara lidah agar perkataan kita tidak membuat sakit hati orang lain
  2. Anak ikan dimakan ikan, gadang di tabek anak tenggiri. Ameh bukan perakpun bukan, budi saketek rang haragoi (Anak ikan dimakan ikan, besar di kolam anak tenggiri. Emas bukan perakpun bukan, budi sedikit orang hargai), maksudnya yaitu hubungan yang dikatakan erat sesama manusia bukan karena emas maupun perak namun karena diikat oleh budi yang baik sehingga hubungan bisa erat jika dia sesama manusia bisa sama-sama menghargai dan mempunyai budi yang baik dan pandai dalam bergaul sesama manusia, karena orang Minang harus mempunyai budi yang baik pada dirinya. Namun pada zaman sekarang sifat orang Minang banyak yang melenceng dari pepatah-petitih yang sudah dikatakan oleh nenek moyang atau orang tua zaman dahulu. Padahal nilai budi dalam masyarakat Minang bersumber dari prilaku baginda yang mulia Baginda Rasulullah Saw.
  3. Bukan disangko murah batimbakau, maracik maampai pulo, jan disangko murah pai marantau, basakik marasai pulo. Maksudnya yaitu hidup di perantauan itu sebenarnya tidak semudah hidup di kampung halaman tempat kita dilahirkan karena jauh dari sanak saudara, adik maupun keluarga. Maka jika ingin merantau harus dipikir-pikir dulu secara matang agar di saat merantau kita tidak dibodoh-bodohi oleh orang sana. Merantau bukanlah ajang untuk hiburan melainkan tempat untuk mencari nafkah dalam melanjutkan kehidupan yang keras ini. Dan di perantauan kita juga harus berpandai-pandai dalam mencari teman yang berguna agar merantau kita tidak sia-sia. Diperantauan kita juga harus selalu sabar dalam segala hal dan ikuti segala aturan yang ada disana.
Baca Juga :  Komitmen dan Dedikasi Incumbent di DPRD Mengecewakan? Peluang Bagi Caleg Baru!

Selain dari tiga pepatah-petitih yang ada di atas, di Minang memiliki satu pepatah lagi yang sangat terkenal dan popular di kalangan masyarakat luar maupun di masyarakat dalam yaitu “Dima bumi dipijak disinan langik dijunjuang”. Pepatah ini mengajarkan kita untuk selalu mematuhi serta menghormati adat istiadat yang ada di tempat yang akan dia tinggali. Dipijak artinya yaitu diinjak dimana kita menginjak tempat yang akan kita tempati dan kita tinggali untuk melanjutkan kehidupan kita selanjutnya.

Orang Minangkabau banyak yang merantau dan memegang prinsip sesuai dengan pepatah-petitih yaitu “dima bumi dipijak disitu langik dijunjuang”, makanya agar dia bisa hidup diluar perantauan dia sering beradaptasi dengan masyarakat disana. Karena sebagai makhluk tuhan kita juga membutuhkan bantuan dari orang lain. Pepatah-peitih ini mengajarkan kita untuk selalu menghormati semua aturan maupun adat istiadat yang berlaku ditempat tersebut.

Jadi pepatah-petitih yang ada di Minangkabau bukan hanya sebatas kata saja melainkan didalamnya terdapat pelajaran serta nasehat yang diungkapkan oleh orang dulu dan dipelajari oleh orang pada zaman sekarang yang akan melanjutkan bagaimana menjaga adat di Minangkabau dengan baik tanpa merusaknya sedikit pun. (*)