Sebuah Reportase Perjalanan Sejarah
Oleh: Irwan Malin Basa
Tidak sengaja, Kamis, 18 Februari 2021, saya dan beberapa orang kawan mengikuti acara Sinkronisasi Data Kebudayaan untuk didaftarkan menjadi WBTBi (Warisan Budaya Tak Benda Indonesia). Acara ini dilaksanakan di sebuah ruangan pertemuan di lokasi museum Adityawarman Padang. Ketika jam istirahat siang, sebelum acara dimulai lagi, saya bersama kawan menyempatkan diri untuk melihat lihat koleksi museum Adityawarman. Sepertinya sebagian ruangan sedang direnovasi.
Yang menarik bagi saya ketika melihat pajangan tulisan yang berisikan urutan urutan peristiwa sejarah. Dimulai dari 73.000 th yang lalu, terus 2500 SM sampai ke abad ini. Tulisan berwarna hitam dan berlatar keemasan tersebut ditempel di sepanjang ruangan museum sebelah kiri. Saya tertarik melihat sebuah tulisan yang berjudul Legenda Minangkabau dengan anak judul Sri Maharaja Diraja di Gunung Merapi.
Di paragraf ketiga tulisan tersebut ditulis “…..perluasan lebih lanjut ke daerah Batur, yang dianggap dusun tertua Minangkabau, tempat situs pertanian Sawah Segadang Setimpang Baniah dan Batu Sajamba Makan. Selanjutnya wilayah pemukiman meluas lagi, dengan Pengembangan nagari Pariangan.”
Apa masalahnya? Pertama, siapa yang menganggap bahwa jorong Batur (dalam bahasa lokal disebut Batua) sebagai dusun tertua di Minangkabau? Tulisan di museum tersebut tidak didasari dengan referensi apapun yang tertera di sudut bawah tulisan. Bagi orang yang pertama kali membaca, tentu ini adalah informasi yang benar. Tapi bagi saya dan kami, yang juga banyak meneliti dan mempelajari Minangkabau, ini mungkin sebuah “kelirumologi” yang harus diluruskan dengan kajian kajian akademik.
Kedua, tulisan “Sawah Segadang Setimpang Baniah” apa maksudnya? Dalam istilah adat yang disebut selama ini yang ada hanya Sawah Gadang Satampang Baniah. Terletak di Pariangan. Mungkin karena diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia hasilnya seperti yang tertulis di museum tersebut. Wallahu alam. Saya bukan ahli terjemahan bahasa Indonesia.
Ketiga, dua baris terakhir yang menyebut bahwa “selanjutnya wilayah pemukiman meluas lagi, dengan pengembangan nagari Pariangan.” Ini berarti penegasan bahwa jorong Batur atau Dusun Batur lebih tua dari Pariangan. Ini perlu dibuktikan! Tidak cukup hanya informasi sekilas atau Ota Ota Lapau saja untuk berkesimpulan seperti itu. Banyak hal terkait untuk pembuktian. Misalnya, naskah kuno, tuturan, bukti sejarah, BCB, kajian arkeologi, uji thermoluminasi, pemanfaatan LIDAR, tes hidrokarbon dll.
Apa yang ingin saya sampaikan kepada juru tulih tulisan tersebut dan juga kepada pengelola museum Adityawarman agar lebih berhati hati sebelum menuliskan suatu peristiwa sejarah. Tolong cantumkan sumbernya yang valid dan teruji serta terukur. Kalau memang itu yang benar secara akademik, saya akan bantah dengan sejuta data akademis, tapi kalau memang itu tidak terukur, mari kita perbaiki. Demi Minangkabau, demi sejarah kita, demi informasi yang benar.
Istilah “Kelirumologi” yang saya gunakan di judul artikel ini dengan memakai tanda kutip tentu memiliki seribu makna. Entah siapa yang keliru? Tapi, istilah Kelirumologi ini dipopulerkan oleh Jaya Suprana untuk meluruskan sesuatu yang mungkin keliru, bukan untuk menuding sesuatu atau seseorang sudah keliru. (Red.Jm).