Oleh: Irwan, M.Pd. (Dosen IAIN Batusangkar)
Raden Ajeng Kartini yang dikenal dengan RA Kartini adalah seorang pahlawan nasional perempuan. Dia lahir pada tgl 21 April 1879. Perjuanganya tentang emansipasi dan hak-hak perempuan dibatasi ketat oleh penjajah Belanda. Dia tidak pernah berhenti menyuarakan hak-hak pribumi meskipun melalui surat dan kelompok- kelompok kecil di daerahnya. Dia tidak menerima perlakuan penjajah melalui orang-orang dekatnya yang selalu ingin memenjarakan kebebasan nya berfikir demi sebuah kebebasan.
Bolehkah kita sebut zaman Kartini dibatasi itu dengan istilah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) seperti yang berlaku sekarang ini? Tentunya boleh saja, sebab yang membedakan hanyalah faktor pemicunya saja. Kartini dibatasi karena ketidaknyamanan penjajah sedangkan kita dibatasi hari ini karena ketidaknyamanan pemerintah melihat masyarakatnya terkena virus Corona. Di satu sisi, kita patut berterimakasih kepada pemerintah yang sudah melakukan berbagai upaya untuk melindungi segenap rakyatnya dari wabah covid-19. Tetapi di sisi lain, masyarakat masih banyak yang tidak paham dengan maunya pemerintah. Masyarakat masih banyak yang menolak PSBB. Mereka merasa ruang geraknya dibatasi. Akses dipersempit. Pengawasan dan pengawalan dari aparat cukup ketat. Apa yang mereka lakukan selama ini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya merasa dirampas oleh pemerintah.
PSBB memang sebuah fenomena sosial baru bagi masyarakat Indonesia. Dengan berbagai SOP yang sudah disiapkan untuk pelaksanaan PSBB ini masyarakat masih sulit untuk ditertibkan. Memang salah satu kelemahab budaya Timur adalah masyarakatnya yang susah diajak untuk tertib apalagi untuk antri. Semua ingin lebih duluan mendapatkan pelayanan meskipun datang terlambat.
Hari ini masyarakat banyak yang megeluh tentang PSBB. Alasannya adalah kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Tukang ojek, sopir bus dan angkot, pedagang kecil serta berbagai jenis UMKM berontak. Mereka hanya ingin kebebasan seperti dalam biasa padahal kondisi hari ini karena virus Corona merupakan situasi yang luar biasa. Tidak bisa disamakan. Hal ini akan menimbulkan ekses sosial yang tidak sedikit. Masyarakat harus bertarung mencari penghidupan yang layak dibawah bayang-bayang pengawasan dan ancaman dari bangsa sendiri. Unng saja PSBB ini diujicoba baru sebatas 14 hari kedepan dan akan dievaluasi hasilnya nanti setelah pemberlakuan tahap awal ini.
Kalau kita refleksikan perjuangan Kartini, dia dibatasi sepanjang perjuangannya tanpa pernah merasa bosan dan lelah untuk berjuang. Cita-cita perjuangannya adalah kebebasan dari penjajahan bukan kebebesan untuk mencari akses ekonomi untuk memenuhi perut dan kebutuhan hidup saja. Masih wajarkah kita mengeluh? Jawab saja sendiri. Toh, keluhan itu adalah hak pribadi yang tidak bisa dihambat oleh benteng kekuasaan. Bedilpun diletakkan di atas kepala, keluhan akan selalu muncul. Itulah manusia.
Kini, demi sebuah rasa kebangsaan yang satu, kompak dan demi kemaslahatan umat bersama patut kita ikuti PSBB ini meskipun ada bagian keseharian kita yang hilang untuk sementara. Kesampingkan dulu kepentingan pribadi demi kebersamaan kita. Kita doakan semoga Corona dan PSBB cepat berlalu.
Kalau di zaman Kartini tidak tahu entah kapan penjajahan akan berakhir. Penjajah tidak peduli dengan penderitaan rakyat yang dijajahnya. Sementara di zaman kemerdekaan ini, pemerintah perlu menyelamatkan rakyatnya. Kebutuhan masyarakat untuk sembako tentu perlu juga dipikirkan oleh pemerintah. Berbagai upaya dari pemerintah daerah sekalipun sudah mulai direalisasikan. Beras, telur, mie instan, minyak goreng sudah mulai dibagikan.
Lantas? Anggaplah ini sebuah ujian kebangsaan bersama. Kita pernah punya Kartini, kita pernah mengalami wabah Corona, kita pernah mengalami PSBB. Andai ini berhasil, tentu akan dicatat secara apik dalam buku sejarah Indonesia nantinya. Kita, yang mengalami PSBB dan wabah Corona hari ini akan menjadi pahlawan yang akan dikenang oleh generasi penerus bangsa ini nantinya. Semoga.