Tanah Datar, jurnalminang.com. Biasanya setiap menjelang lebaran sudah ramai petugas PHBI mempersiapkan tenda, tikar dan sound system untuk persiapan sholat hari Raya Idul Fitri. Petugas hilir mudik tanpa lelah dibantu oleh masyarakat yang ikhlas bekerja. Kini, menjelang hari raya Idul Fitri 1441 H lapangan Cindua Mato pun menangis mengingat sepinya kondisi di sore yang cerah ini. Tak ada aktivitas persiapan hari Raya Idul Fitri. Sepi, sendiri tanpa ada sapaan dari siapapun.
Yang terlihat sore Sabtu 23 Mei 2020 hanyalah hamparan kerikil dan puing yang tak berarti. Ada segilintir anak muda main skater sambil ditonton oleh beberapa orang pedagang yang tidak terlalu sibuk melayani pembeli karena pengaruh Covid-19. Rumput di lapangan Cindua Mato pun dibiarkan tak terurus. Sedih memang!
Betapa tidak, lapangan Cindua Mato yang merupakan kebanggaan warga Luak Nan Tuo tersebut sudah dibabat oleh pembangunan infrastruktur modern yang tak terlalu peduli dengan sejarah. Padahal lapangan Cindua Mato adalah sebuah alun alun kota yang sudah ada semenjak lama. Banyak memori dan kisah pribadi maupun kolektif komunitas yang pernah tumpah ruah disana. Dalam persiapan menjadi Kota Pusaka nanti alun alun kota seperti lapangan Cindua Mato itu sangat penting keberadaannya.
Dulunya, para perantau yang pulang kampung setiap lebaran mengimpikan untuk dapat sholat berjamaah disana karena bisa bertemu dengan handai tolan yang tak diduga duga. Lapangan Cindua Mato adalah sarana awal silaturahmi dan tumpahan ucapan minal aidzin wal faizin di setiap lebaran. Bupati, Ketua DPRD, tokoh masyarakat serta masyarakat badarai berkumpul disana. Duduk sama rendah dan tegak sama tinggi. Mereka sama sama mendengar khotbah Idul Fitri dengan khidmat.
Kini semua pemandangan itu telah tiada (minimal untuk lebaran ini) karena lapangan Cindua Mato sudah disesaki oleh beberapa bangunan untuk olahraga dan acara kebudayaan. Itulah konsep nya kata para pejabat. Gedung-gedung baru itu mulai dibangun tahun 2019 dan belum siap pakai sampai hari ini. Cindua Mato masih menunggu gedung-gedung itu selesai sehingga ada lagi keramaian disana. Tapi setelah semua sarana itu selesai, entah boleh entah tidak sholat idul Fitri dan idul Adha disana nantinya. Wallahu alam.
Entah berapa nostalgia dan catatan sejarah yang hilang karena berubahnya wajah lapangan Cindua Mato. Kubur saja dalam hati dan ingatan masing masing. Luak Nan Tuo sudah kehilangan sebuah saksi sejarah yang sangat penting. Semua argumen untuk pembenaran dan untuk melegalkan pembangunan itu sudah dikemukakan oleh berbagai pihak meskipun ada pro dan kontra. Pertanyaan nya, masih pantaskah gelar “perencanaan pembangunan tingkat nasional terbaik” disandang oleh pemerintah Tanah Datar? Entahlah. Yang jelas, selembar sertifikat dan sebuah tropi penghargaan itu sudah diterima oleh Dinas terkait dan diserahkan oleh pejabat negara di Jakarta dan diekspos di berbagai media.
Kini, Cindua Mato masih meratap dengan kesepiannya. Masyarakat kota Batusangkar pun hanya terdiam bisu. Jangan kan mampir, menolehpun banyak yang enggan. “Tahanlah tangis mu wahai Cindua Mato” gumamku dalam hati ketika lewat sore Sabtu, 23 Mei 2020. (ADM).