Padang , Jurnal Minang. Dosen senior UIN Mahmud Yunus Batusangkar Dr. Akhyar Hanif, M.Ag dan salah seorang Filolog Universitas Andalas Padang Dr. Pramono, diundang sebagai reviewer dalam acara Seminar Hasil Kajian Koleksi Museum di Padang, Rabu (20/11/24).
Keterlibatan Dr. Akhyar Hanif mengupas lebih mendalam hasil penelitian Dr. Ahmad Taufik Hidayat, M.A., dan kawan kawan dosen UIN Imam Bonjol Padang, bertempat di Auditorium Museum Adityawarman Padang.
Penelitian tersebut berjudul; Manuskrip Mushaf al-Quran Koleksi Museum Adityawarman, Sifat, Karakteristik Dan Sejarahnya. Dalam Seminar terungkap bahwa ada 94 koleksi manuskrip dan buku cetak di Museum Adityawarman dan 17 manuskrip adalah mushaf Al-Qur’an.
Khusus terkait dengan Mushaf al-Qur’an maka telah dilakukan kodikologi terhadapnya.
Dari hasil penelitian tersebut, ada dua hal yang menjadi titik fokus sebut, yaitu; pertama, soal standarisasi dan keotentikan al-Qur’an dalam kaitannya dengan kajian Filologi dan kedua, terkait juga masalah tahqiq atau tadqid. Dalam disiplin Ulum al-Qur’an bagi kita, umat Islam, yakin bahwa al-Qur’an yang kita terima hari ini adalah sama persis dengan al-Qur’an yang diturunkan lima belas abad yang silam.
Lebih luas ia menyebutkan, Al-Qur’an itu adalah yang berbahasa Arab, apabila ia diterjemahkan ke dalam bahasa lain itu bukan al-Qur’an, itu adalah terjemahan al-Qur’an. Harus dibedakan antara istilah “Translation” dan “Version” dalam bahasa Inggris.
Sangat berbeda dengan kitab suci lain. Al-Qur’an tidak mengenal “version” (versi) hanya ada “translation” atau terjemahan. Oleh karena itu, terjemahan si A boleh jadi berbeda dengan terjemahan si B. Terjemahan al-Qur’an Departemen Agama berbeda dengan terjemah H.B Yasin dalam bahasa Indonesia, contohnya,“ urai Akhyar Hanif.
Kedua, terkait dengan Tahqiq dan Tadqid. Tentang ini, saya ikut memperkuat dan mengapresiasi temuan peneliti Dr. Taufik yang melihat pada sisi palegrafi yakni terdapat beberapa kasus “salah tulis” dalam penyalinan manuskrip al-Qur’an di museum ini. Peneliti telah mengangkat beberapa contoh bagaimana terdapat catatan-catatan kecil di luar teks manuskrip mushaf Al-Qur’an yang disebut dengan istilah Scholia.
Lebih lanjut mantan Dekan FUAD UIN Mahmud Yunus Batusangkar ini mengatakan, dalam konteks ini, saya hanya ingin menunjukkan bahwa peneliti baru hanya sebatas memaparkan Scholia saja yang tedapat dalam penyalinan manuskrip Mushaf al-Qur’an di atas.
Peneliti belum menjelaskan mengapa “kesalahan tulis” itu terjadi. Siapa penulis mushaf ini? Bagaimana background intelektualnya? Hal ini belum dijawab oleh penelitian ini dan karena itu, tentu bisa menjadi field-field penelitian selanjutnya bagi yang berminat melanjutkan penelitian ini.
Dr. Ahmad Taufik Hidayat membuka selebar-lebarnya untuk melanjutkan hasil penelitiannya ini oleh para Filolog lain atau bagi mereka yang disebut sebagai pelestari naskah kuno Minangkabau.
Terakhir, Akhyar menambahkan sebagai closing statementnya sebagai reviewer, hasil academic research ini bagus dan menarik untuk dipublish sebagai upaya melestarikan aset budaya intelektual leluhur Minangkabau yang masih banyak misteri-misteri yang tersimpan di dalamnya, khususnya dalam kajian keislaman. (Doni/Red.Jm)