Catcalling: Antara Kebebasan Berbicara dan Pelecehan Seksual

Oleh: Putri Mawaddah Caniago (Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang)

Kekerasan seksual merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi perempuan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Berbagai instrumen hukum dan hak asasi manusia menjamin hak kebebasan berbicara.

Sebagai contoh, data menunjukkan bahwa 78% korban kekerasan seksual mengalami gangguan psikologis yang parah, dan 44% mengalami kerusakan fisik. Data yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik dari tahun 2009 hingga 2020 dari Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan masyarakat sipil, pemerintah lebih sering mengancam kebebasan berpendapat.

Kebebasan tidak memiliki batas. Kebebasan berbicara dapat menyebabkan pemahaman melalui ucapan yang tidak diinginkan dan substansi korban ketika digunakan secara tidak tepat.

Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami bahwa kebebasan berbicara harus dijaga dengan menghormati privasi, martabat, dan hak asasi setiap orang. Kita dapat mengurangi kreativitas dan menciptakan tempat yang aman dan setara untuk semua orang dengan menggunakan pendekatan yang inklusif dan edukatif .

Untuk mengatasi hal ini, banyak strategi telah dibuat. Salah satunya adalah RESPECT, yang dibuat oleh WHO dan UN Women. Tujuannya adalah untuk menghentikan siklus kekerasan dengan memperkuat pemberdayaan perempuan, meningkatkan keterampilan sosial mereka, menciptakan lingkungan yang aman, dan mencegah kekerasan terhadap anak dan remaja.

Menurut pendapat saya, banyak orang di dunia modern memandang catcalling sebagai ekspresi kebebasan berbicara yang dijamin, meskipun tindakan ini seringkali termasuk dalam kategori menyampaikan hal-hal seksual yang mengganggu dan mengganggu korban.

Korban mengalami efek psikologis seperti ketakutan , stres, dan trauma akibat catcalling . Tidak boleh menggunakan kebebasan berbicara untuk mengancam atau membuat seseorang merasa tidak aman.

Oleh karena itu, untuk memungkinkan kebebasan berbicara menjadi lebih efektif tanpa mengorbankan hak privasi dan keamanan individu, perlu dilakukan tindakan pendidikan, penegakan hukum, dan perubahan norma budaya.

Baca Juga :  Mahasiswa Internasional di UIN Batusangkar Ikuti Summer Course di Jakarta

Referensi:
Komnas Perempuan. (2022). Catatan Tahunan 2022: Statistik dan Analisis Kekerasan Berbasis Gender di Indonesia. Diakses dari Komnas Perempuan.
WHO & UN Women. (2023). Kerangka Kerja RESPECT: Pendekatan Baru untuk Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia. Diakses dari WHO dan UN Women.

Sumber gambar: Rumah konten