Antara Webinar dan Ota Lapau

Oleh: Irwan Malin Basa

Sebuah new era atau peradaban baru yang mulai booming dan merambah hampir semua topik diskusi adalah munculnya layanan Webinar atau seminar melalui web. Teknologi ini bisa “mendekatkan” jarak antar daerah, antar negara dan antar benua untuk melakukan diskusi. Fasilitas suara dan gambar bisa dinikmati meskipun kadang kadang tidak sebersih wujud aslinya. Semua tergantung fasilitas; apakah itu jaringan, paket data serta perangkat yang digunakan.

Webinar tidak hanya untuk seminar tetapi untuk berbagai kepentingan. Misalnya, ujian skripsi, thesis, disertasi, rapat partai serta wiridpun di berbagai instansi sudah memakai konsep Webinar yang menggunakan aplikasi zoom meeting. Dilihat secara realitas tentu ada untung dan ruginya seminar online ini. Dari berbagai pengalaman dapat kita simpulkan beberapa manfaatnya.

Pertama, layanan diskusi online ini bisa dilakukan kapan saja tergantung ketersediaan jaringan. Efisiensi waktu bisa terjaga karena peserta maupun narasumber tidak mesti hadir menuju satu lokasi yang sama. Kedua, efisiensi biaya. Tidak perlu high cost untuk membuat sebuah webinar karena tidak perlu konsumsi dan sewa tempat. Foto copy materi seminar pun bisa didownload secara online dan gratis. Tidak perlu ada reseptionis yang akan mencatat kehadiran peserta.

Ketiga, siapa saja bisa ikut asalkan mendaftar melalui link yang disediakan dan disetujui oleh host yang mungkin juga tidak perlu diberi honor. Keempat, jika digunakan untuk ujian seperti seminar proposal maupun sidang akhir skripsi dapat mengurangi beban psikologis orang yang sedang diuji. Sifat “garang” penguji ataupun promotor berkurang dibandingkan jika dia hadir dalam forum face to face.

Namun dari segi kekurangannya perlu juga dilihat sesuai dengan realitas yang dialami oleh peserta selama mengikuti kegiatan ini. Pertama, peserta banyak yang kurang serius apalagi ketika peserta mematikan layanan videonya. Ketika pembicara sedang bersemangat menyampaikan materi, peserta bisa saja mengerjakan pekerjaan lain seperti membalas pesan WhatsApp, menggendong anak dan sambil memasak sekalipun di dapur. Toh, tidak ada yang tahu.

Baca Juga :  Jalan Usaha Tani, Pemukiman dan Wisata di Tanjung Barulak Butuh Perhatian Serius dari Pemerintah

Kedua, gangguan suara dan kualitas gambar yang rendah membuat materi tidak tersampaikan dengan baik. Peserta kadang kadang kesal juga tapi apa boleh buat, karena “keharusan hadir” karena perintah atasan. Yang penting nama peserta tercatat sebagai list peserta alias setor wajah. Hasil tidak terlalu diperhatikan. Ini akibat webinar yang dipaksakan.

Ketiga, khusus untuk ujian atau sidang skripsi, pesan yang disampaikan tidak tersalur semuanya dengan baik karena kemampuan berbicara di depan kamera oleh penguji sekalipun akan mempengaruhi hal tersebut. Perlu pembiasaan dalam waktu yang agak lama sehingga webinar bisa serasa real forum.

Mencermati hal tersebut tentu tidak jauh beda antara webinar yang kurang serius dengan Ota lapau yang selama ini sudah menjadi budaya laki laki di Minangkabau. Apapun dibicarakan di Lapau; mulai dari politik, ekonomi, pertanian, budaya, teknologi, sejarah, agama sampai ke gosip rumah tangga orang lain. Bedanya, di Lapau ada kebebasan berbicara sedangkan di webinar diatur sesuai topik.

Tak salah juga kiranya seorang teman saya yang sudah lama menjadi ahli hukum dan budaya mengatakan bahwa LAPAU itu adalah: Lembaga Analisa dan Pendapat Antar Umat. Setidaknya memang begitu karena di Lapau semua informasi mengalir deras dan cepat yang terkadang mengalahkan google searching. Belum ada di-update di google, tetapi di Lapau sudah ada informasi tersebut.