Oleh: Melany Putri Maulivi (Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas, Padang)
Ada beberapa alasan kenapa segelintir orang memilih untuk mengadopsi anak. Namun, banyak diantara mereka menggunakan anak adopsi sebagai “pancingan” untuk mendapatkan anak kandung. Meskipun secara medis tak ada korelasinya antara adopsi dengan kehamilan, namun hal tersebut tetap menjadi alternatif bagi masyarakat yang sulit mempunyai anak.
Alasan lain mengapa pasangan suami istri mengadopsi anak yaitu, pertama karena ingin mendapatkan anak dengan jenis kelamin berbeda dengan anak kandung, kedua menjadi solusi instan dari keinginan memiliki anak tanpa melalui proses kehamilan, ketiga karena ingin membantu anak dari keluarga yang ekonominya sulit, dan masih banyak lagi alasan lainnya.
Terlepas dari alasan tersebut, tindakan mengadopsi anak seringkali menimbulkan permasalahan baik bagi keluarga pengadopsi maupun bagi anak adopsi. Berbagai tekanan kedepannya akan dihadapi oleh anak adopsi. Serta tantangan berat akan menunggu orang tua angkatnya. Karena mengadopsi anak itu pertimbangannya pada masa yang akan datang, permasalahan dan tantangan yang akan muncul itu bukan sekarang, namun 10 atau 15 tahun yang akan datang.
Nasib anak adopsi bergantung pada siapa orang tua angkat dan bagaimana pola pengasuhan mereka. Ada yang hidup senang dengan limpahan kebahagiaan dan kasih sayang, serta ada juga yang hidupnya justru tambah malang setelah diadopsi. Sudah sering terdengar kasus anak anak yang disiksa oleh orang tua angkatnya. Berbagai macam perilaku buruk dan kekerasan menjadi momok yang menakutkan bagi anak adopsi. Tak jarang pula mereka menjadi sasaran pelampiasan emosi dari orang tua angkat mereka.
Bukan hanya itu, anak angkat seringkali dibully oleh anak kandung. Harus sekeras apa lagi dunia kepada anak adopsi? Bukankah mereka tak menginginkan hal ini juga?
Penulis berpendapat bahwa kekerasan yang dialami oleh anak adopsi itu disebabkan karena ketidaksanggupan orang tua angkat. Bukan hanya soal materi, namun juga mengenai kesiapan mental. Pilihan dalam mengadopsi anak harus memiliki pertimbangan yang panjang. Meskipun bukan darah daging sendiri, namun curahan kasih sayang harusnya tak ada ketimpangan antara anak kandung dan anak hasil adopsi. Jika sudah memutuskan untuk adopsi, maka harus siap menyayangi dengan sepenuh hati.
Menjadi anak adopsi seakan akan diisyaratkan harus kuat mental. Harus siap dibandingkan, harus siap diperlakukan berbeda dan harus menerima perlakuan tak mengenakkan meski terasa menyayat hati. Padahal mereka juga tidak meminta hidup seperti itu. Berbagai macam pertanyaan tentu muncul di pikiran mereka, seperti Mengapa harus saya? Tak bisakah saya seperti mereka? Saya juga ingin diperlakukan seperti anak anak lainnya. Tapi mereka tak ada pilihan selain menerima dan memendam sendiri.
Keadaan psikis yang terguncang, keadaan mental yang tidak baik baik saja, bahkan seringkali menyalahkan diri sendiri dan keadaan menjadi permasalahan umum bagi anak hasil adopsi. Bagaimana tidak, sedangkan mereka saja diperlakukan dengan tidak baik. Padahal orang tua angkat mereka yang memilih untuk mengadopsi, namun ada masanya justru mereka dituntut untuk menerima dengan pasrah semua ini, tak ada kesanggupan juga untuk membantah atau mereka akan dibungkam dengan jurus andalan yaitu dikembalikan ke asal mereka.
Jadi menurut penulis, bagi orang tua yang ingin mengadopsi anak harus memikirkan dan mempersiapkan segala sesuatu secara matang. Harus mengukur kemampuan diri apakah sanggup berlaku adil dan mempertanggung jawabkan pilihan mereka itu. Jika alasannya untuk pancingan mendapatkan anak kandung, apakah nanti bisa menyayangi mereka dengan porsi yang sama tanpa menekan salah satu dan meninggikan yang lainnya. Serta bagi orang tua kandung anak adopsi, juga jangan langsung menyerahkan anak mereka begitu saja. Karena kita tidak tau apa yang akan dialami anak kedepannya. (*)