Sebuah Opini Oleh: Muhammad Intania, SH
Sekretaris LBH Pusako
Baru selesai dengan kritikan publik tentang peluncuran (launching) program unggulan Bajak Gratis, muncul lagi persoalan baru. Kita lihat bajak gratis, belum jelas kapan tanggal pasti realisasinya, kapan dapat dinikmati oleh para petani tertentu (bukan semua petani karena ada kriteria tertentu yang ditetapkan Pemkab Tanah Datar), dan seperti apa teknis bajak gratis tersebut masih berselimut kabut. Sekarang muncul hal baru perihal kemampuan pejabat tertentu di lingkup Tanah Datar dalam hal menyelesaikan sebuah masalah.
Apa ada benang merahnya antara kemampuan untuk menyelesaikan masalah (problem solving) dengan peluncuran program unggulan Bajak Gratis? Nanti di penghujung tulisan ini akan dapat disimpulkan oleh para pembaca.
Kali ini persoalan nya tentang upaya menyelesaikan masalah sewa menyewa lahan milik keluarga H. Eri Munafri Dt. Majo Indo Nan Karuik yang disewa oleh Pemkab Tanah Datar selama 10 (sepuluh) tahun mulai 02 Januari 2008 dan berakhir tanggal 31 Desember 2017 yang di atasnya sudah berdiri bangunan yang diperuntukan bagi rumah dinas kepala sekolah SD dan guru SD.
Secara de yure, perjanjian sewa sudah berakhir efektif tanggal 01 Januari 2018 dan Pemkab Tanah Datar tidak pernah memberikan surat konfirmasi resmi kepada pemilik lahan bahwa tidak akan melanjutkan perjanjian sewa menyewa. Namun disisi lain secara de facto masih menempatkan guru dan ditemukan ada pihak lain yang menghuni rumah dinas di lokasi lahan tersebut. Artinya Pemkab Tanah Datar masih menguasai objek sewa dan belum menyerahkan objek sewa secara resmi kepada pemilik lahan sampai tulisan ini dipublikasikan.
Pihak Kuasa Hukum keluarga H. Eri sudah mencoba menempuh upaya damai untuk mencari solusi melalui cara musyawarah secara kekeluargaan kepada Pemkab Tanah Datar melalui Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Tanah Datar sejak tanggal 01 Juli 2021 lalu. Artinya sudah lebih 7 (tujuh) bulan persoalan ini tidak kunjung selesai.
Padahal permintaan keluarga H. Eri sederhana saja, apakah mau dilanjutkan perjanjian sewa atau tidak? Kalau mau dilanjutkan, maka silahkan buat perjanjian baru. Jika tidak mau, maka silahkan kembalikan objek sewa dan bayar kontrak berjalan dari tanggal 01 Januari 2018 hingga tanggal dikembalikan objek sewa kepada pemilik lahan. Sederhana saja kan? Ada yang aneh? Rasanya tidak ada. Tapi kenapa Pemkab Tanah Datar sukar sekali memutuskan dan memberi jawaban IYA atau TIDAK?
Padahal di dalam pertemuan terakhir antara Kuasa Hukum dengan pejabat Pemkab Tanah Datar yang mewakili pada tanggal 17 Januari 2022 sudah ada kesepakatan bahwa lahan milik keluarga H. Eri akan dikosongkan dari penghuni oleh pejabat Pemkab Tanah Datar paling lambat tanggal 07 Februari 2022. Sampai saat tulisan ini dipublikasikan, Pemkab Tanah Datar tidak sanggup mengosongkan semua lahan sesuai tenggat waktu yang disepakati.
Disinilah letak kedewasaan memutuskan (maturity makes decisions) dari seorang pemimpin daerah dan pejabat terkait. Tapi di Tanah Datar, menurut pandangan kami, belum kompeten.
Dalam sistim kepemerintahan tentu berlaku konsep “bawahan mengikuti arahan atasan” (subordinates follow the directions of superiors). Jika atasan tidak memberikan arahan yang jelas, baik itu berupa bentuk keputusan dan tenggat waktu penyelesaian (deadlines), tentu akan menyulitkan bawahan untuk menindaklanjuti dan mengeksekusi arahan / keputusan dari atasan / pimpinan.
Maka pimpinan tidak bisa memberikan apresiasi dan hukuman (reward and punishment) secara objektif kepada bawahan karena tidak ada indikator kesuksesan menyelesaikan sebuah tugas yang diberikan.
Dalam kasus perjanjian sewa menyewa yang akan memasuki bulan ke 8 (kedelapan) ini ada satu kata kunci yang diabaikan oleh pimpinan daerah, yaitu proses mengumpulkan informasi. Kepala Daerah sepertinya mendapat informasi sepihak dari lingkar kekuasaan / pembisiknya / konsultan politiknya saja, sehingga sukar bagi Kepala Daerah untuk memberikan keputusan yang tepat dan benar untuk dieksekusi oleh bawahan.
Bukankah sederhana saja bagi Kepala Daerah untuk menghubungi dan berkomunikasi langsung dengan keluarga pemilik lahan atau melalui Kuasa Hukumnya agar Kepala Daerah mendapatkan informasi yang berimbang yang nantinya dapat dipakai untuk memberi keputusan yang tepat dan benar.
Disinilah fungsi keahlian manajerial (managerial skill) Kepala Daerah diuji dalam mengelola sumber daya manusia yang tersedia. Bila tidak memberikan arahan yang jelas, tidak memberikan batas waktu yang jelas dan tidak memberikan target yang jelas, maka jangan salahkan bawahan karena masalah sederhana seperti hal ini saja jadi berlarut-larut.
Namun bila sudah memberikan arahan yang jelas, kenapa tidak berani memutuskan untuk bersedia mencari solusi melalui musyawarah untuk mufakat atau memberi jawaban untuk diselesaikan lewat jalur hukum saja. Keputusan resmi inilah yang ditunggu tunggu oleh keluarga H. Eri dan Kuasa Hukumnya.
Demikian juga halnya terjadi dengan eksekusi program unggulan Era Baru karena tidak pernah dipublikasikan kapan program Bajak Gratis direalisasikan (bukan diluncurkan), hehehe, kapan program 100 tower direalisasikan, kapan kapal pesiar direalisasikan, kapan pabrik tomat beroperasi, dll maka menimbulkan kritikan keras dari publik terhadap kemampuan Pemerintah Era Baru untuk mengelola pemerintahan dalam mengeksekusi program unggulannya.
Ketidakmampuan Kepala Daerah dan pejabat daerah terkait dalam mematuhi kesepakatan tenggat waktu mengosongkan lahan milik keluarga H. Eri dapat mencerminkan kualitas aparatur dalam bekerja dan melayani masyarakat. Tidak ada yang tepat waktu!
Semestinya Kepala Daerah harus berani menegur bawahan yang tidak memberikan informasi progres kerja sesuai tenggat waktu yang diberikan, karena kinerja prestasi bawahan turut mencerminkan kinerja prestasi pemerintahan Era Baru.
Jangan nanti publik Tanah Datar baik di selingkar Luhak Nan Tuo maupun yang diperantauan menilai bahwa persoalan keluarga H. Eri Munafri Dt. Majo Indo Nan Karuik yang notabene pendukung Era Baru saat Pilkada lalu yang turut mengantarkan Eka-Richi menduduki jabatan Bupati dan Wakil Bupati Tanah Datar saja terlantar, apalagi bagi pencari solusi dari pihak yang berseberangan?
Jadi, apa benang merah antara realisasi program unggulan dengan penyelesaian masalah pada studi kasus perjanjian sewa menyewa di atas? Menurut pandangan penulis, benang merahnya adalah:
- Tidak ditetapkan target waktu penyelesaian / pencapaian usaha.
- Tidak diterapkan pengumpulan informasi dan menimbang faktor faktor yang ada.
- Tidak maksimal melaksanakan rapat koordinasi rutin karena Kepala Daerah sering meninggalkan kantor.
- Fungsi pendelegasian kurang maksimal sehingga bawahan sulit mengambil sikap.
- Fungsi koordinasi menggunakan media elektronik email agak terabaikan (entah ada, entah tidak) sehingga informasi yang didapat pimpinan tidak sama dan tidak merata.
Kalau pandangan saya tidak benar, maka silahkan dibantah oleh pihak lain disertai data pendukungnya.
Agaknya publik selingkar Luhak Nan Tuo maupun di perantauan menunggu babak baru pertarungan penyelesaian masalah sewa menyewa lahan antara Pemerintah Kabupaten Tanah Datar dengan Pemilik Lahan ini. Akankah Pengadilan jadi jalan terakhir untuk penyelesaian sengketa ini? Wallahu alam.