Opini  

Tarik Ulur Pasangan untuk Pilkada Tanah Datar

Oleh: Novi Budiman, M.Si

Direktur Pusat Kajian Politik Studia Politika

Tarik ulur pasangan yang tak kunjung tuntas untuk Pilkada Tanah Datar masih berlanjut sampai kini. Belum ada yang final. Yang ada barulah sebatas lobi politik dan klaim serta informasi yang kurang valid dari tim sukses dan para marketing politik. Mengapa bisa terjadi demikian? Karena politik itu dinamis, perlu kompromi dan tidak ada kepastian padanya. Thomas Meyer (2008) sudah menggambarkan hal ini dalam bukunya Kompromi: Jalur Ideal Menuju Demokrasi. Bagaimana realitasnya di Tanah Datar?

Politik itu butuh kompromi. Tanpa kompromi, partai pemenang Pemilu sekalipun yang tidak memiliki cukup kursi untuk mengusung balonbup butuh juga kompromi dengan partai lain. Misalnya di Tanah Datar, pemenang Pileg adalah partai Gerindra dengan perolehan enam kursi. Partai ini masih butuh satu kursi lagi untuk dapat mengusung balonbup untuk mencukupi tujuh kursi. Mengawinkan atau memperoleh satu atau dua kursi lagi bukanlah soal mudah. Banyak jalan berliku serta intrik politik yang harus dimainkan. Mulai dari DPC, DPW dan finalnya tetap di DPP partai.

Ketika sudah terjadi kesepakatan di level bawah misalnya, kemudian diserahkan lagi ke DPW di provinsi. Adalagi proses negosiasi dan kompromi. Berbagai alasan digunakan untuk mencari sebuah keputusan. Misalnya, harus ada survey tentang calon, harus ada komitmen antara calon dengan partai, termasuk anggaran biaya kampanye yang harus disiapkan. Balon kepala daerah yang tidak memiliki “energi” yang kuat ada yang sudah menyerah sampai disini. Kalaupun gol dari DPW maka DPP lagi yang akan diurus. Dapat kita analogikan kalau di DPC / DPD baru tingkat S1, di DPW/DPD level S2, dan di DPP level S3.

Baca Juga :  Menyigi Kewenangan TP2KP2: Usah Tinggi Ruok Pado Boto!

Namun ada juga partai politik yang semua urusannya tergantung DPP. Pengurus partai di tingkat DPC dan DPW hanyalah “janang” dan tukang stempel keputusan saja. Itulah sebagian kecil management partai politik. Mengapa demikian? Karena politik itu berbiaya tinggi dan pengurus partai di tingkat DPP harus menancapkan kukunya sampai ke level bawah. Untuk meraih dukungan DPP tentu butuh lobi dan koneksi yang luar biasa dengan petinggi partai. Apapun putusan DPP nanti harus diikuti oleh level dibawahnya. Syukur syukur kalau DPP memutuskan calon yang tepat, jika tidak maka gagal lah sang calon dalam pertarungannya di Pilkada.

Kita simulasikan satu contoh kecil untuk Tanah Datar. Gerindra mungkin cocok dengan PDIP melihat realitas politik di pusat hari ini. Tapi ketika platform politik partai cocok di tingkat pusat, mungkin calon yang akan diusung tidak qualified. Tidak ada kader yang mumpuni. Akhirnya balon lain yang bukan kader “merayu” partai ini untuk mendapatkan dukungan. Contoh Simulasi kedua, partai Demokrat dengan PKS mungkin cocok dan kursinya cukup. Tapi untuk menyatukan dukungan untuk balonbup Tanah Datar tidak mudah. Pertimbangan nya sampai ke tingkat provinsi karena di Pilgub Sumbar nanti diprediksi Demokrat dan PKS berlawanan. Hal ini juga menjadi pertimbangan.

Jadi untuk menyatukan sepasang calon dalam politik itu tidak sesederhana yang dilihat oleh masyarakat awam. Ada juga yang berpendapat bahwa dengan uang selesai semuanya, saya tidak sependapat dengan hal ini. Dalam politik, uang itu penting tetapi bukan segala galanya. Bagi masyarakat Tanah Datar tunggulah siapa yang diputuskan oleh DPP untuk menjadi calon bupati nanti. Bagi yang sudah terlanjur “menghoyak” calon si A dengan si B hari ini, bisa saja batal. Bak kata pepatah Minang “Cindua takaka hari hujan” maka buyarlah impian tersebut.