Oleh: Rahmad Dani
Mahasiswa Pascasarjana IAIN Batusangkar
Seorang ahli jiwa terkenal Abraham Maslow (1908 – 1970) sudah membagi lima kebutuhan manusia. Ada kebutuhan fisiologis, rasa aman, rasa memiliki terhadap sosial, penghargaan dan yang terakhir adalah aktualisasi diri (self actualisation). Dalam bukunya hirarchy of needs dijelaskan bahwa kebutuhan manusia tersebut secara normal dipenuhi sesuai dengan jenjangnya. Artinya, jangan ada yang terbalik pasang karena bisa menyebabkan masalah. Dalam bahasa Minang disebut bajanjang naiak batanggo turun. Ada urutan-urutan secara normal.
Dalam konteks aktualisasi diri tidak ada batasan gender antara laki-laki dan perempuan dalam pemenuhan kebutuhan tersebut. Setiap manusia butuh mengaktualisasikan dirinya namun caranya yang berbeda beda. Dalam hal politik misalnya, selama ini kecenderungan umum adalah laki- laki lebih dominan dalam memimpin baik sebagai kepala negara, gubernur, bupati sampai ke wali nagari. Tetapi hal tersebut bukan berarti perempuan tidak mampu melainkan karena kurang terbiasa saja. Sejatinya perempuan itu mampu untuk memimpin!
Dalam hiruk pikuk pilkada serentak tahun 2020 ini, di Sumatera Barat saja berbagai kader perempuan muncul untuk menjadi bakal calon kepala daerah. Sebut saja untuk Bacalon gubernur ada Edriana. Untuk bacabup Tanah Datar ada Betty Shadiq Pasadigoe. Kemunculan mereka tentu pantas kita acungi jempol karena berani tampil beda. Dan hal inipun “baru” bagi kita di ranah Minang. Masyarakat kita dalam beberapa hal cenderung mencoba dan memilih yang “baru” tersebut. Sebagai orang Minang yang sangat demokratis, mengapa tidak kita coba pula? Toh, dari dahulu sudah banyak juga ranah Minang menghasilkan tokoh-tokoh perempuan hebat baik skala lokal, nasional dan internasional sekalipun.
Terkait dengan teori Maslow diatas, orang-orang yang mau menjadi calon kepala daerah tersebut adalah orang orang yang sudah memenuhi kebutuhan dasar mereka dan bahkan sudah sampai ke level empat. Tinggal satu langkah lagi yaitu kebutuhan level lima; aktualisasi diri. Andai saja perempuan yang muncul itu sudah pantas, mengapa tidak diberi kesempatan? Bak kata pepatah Minang, bisiak lah Samo kadangaran, rawak lah Samo kalampauan, lah taserak ka nan rami.
Dalam segi jumlah penduduk dan pemilih, perempuan lebih banyak kuantitasnya daripada laki-laki. Andai saja semua pemilih perempuan memberikan hak pilihnya kepada sesama perempuan, tentu mulus bagi calon perempuan untuk memenangkan kompetisi tersebut. Idealnya kalau berbicara “rasa” sesama perempuan tentu mereka akan memilih perempuan juga. Tapi proses politik tidak bisa serta merta seperti itu. Jika “rasa” itu muncul nanti tanpa komando namun karena panggilan nurani, “selesailah” pilkada Tanah Datar. Kita akan punya bupati perempuan setelah ini.
Tradisi ketokohan perempuan itu seyogyanya dilanjutkan oleh perempuan saat ini. Kalau dulu, ada Siti Rohana Kudus, Rahmah Elyunusiah, Siti Hajir dan lain sebagainya. Mereka memiliki skill di berbagai bidang yang berbeda. Mereka dicatat dalam sejarah sampai kapanpun. Umpamanya kita yang ada saat ini mencatat sebuah sejarah juga dengan memilih Bupati seorang perempuan, tentu kita juga akan dicatat oleh sejarah nantinya. Sejarah itu akan dibaca oleh anak cucu kita kelak.
Kalau saja Abraham Maslow tidak membuat teori tersebut dahulunya, tentu tidak akan ada perdebatan dalam masalah aktualisasi diri ini. Dan jika hari ini banyak orang yang protes atau tidak suka dengan kehadiran perempuan menjadi bacagub atau bacabup misalnya, tanyalah nanti pada Maslow. Jika itu sempat ditanyakan, Paling Maslow menjawab “itu adalah pertanda perempuan yang mampu karena keempat kebutuhannya sudah terpenuhi.” (Bersambung).