Gurun, Jurnal Minang. Merasa tidak puas atas keputusan ahli waris pemilik gedung Balai Adat KAN Gurun yang tidak memperbolehkan pemakaian lantai dua kantor Balai Adat sebagai kantor pemerintahan Nagari Gurun membuat Wali nagari Gurun “marabo” dengan tepuk meja di hadapan panghulu yang juga ahli waris Balairung, bahkan mengancam akan menggugat tanah KAN Gurun Kecamatan Sungaitarab tersebut.
Peristiwa tersebut bermula Senin, 11/8-2025 sekitar pukul 10.00 wib, Sekretaris KAN Gurun Mashuri Khatik Mudo Ayat, Dt.Mudo Ayat, Ir.Dt.Rajo Tanbusu, Silya Ateng tokoh pemuda, Afdal (Babinkamtibmas) bertemu dengan Wali Nagari Gurun.
Kehadiran M.Khatik Mudo Ayat ke kantor Wali Nagari Gurun setelah menerima telepon dari Desi Pegawai Sekretariat Nagari Gurun yang akan memakai Balairung KAN sesuai perintah Wali Nagari karena gedung digembok.
Kemudian dijawab Sekretaris KAN Mashuri Khatik Mudo Ayat yang menyampaikan tidak boleh gedung Balerong Adat dipakai dengan memakai kursi dan meja lantaran gedung KAN Gurun dimanfaatkan untuk kegiatan hanya untuk baselo. Sementara Wali Nagari ingin memasukkan meja dan kursi.
Kemudian terjadilah diskusi. Saat diskusi berjalan mungkin karena tidak puas, Wali Nagari Gurun yang memakai cincin mumukulkan tangannya ke meja sehingga menimbulkan bunyi yang keras, hingga membuat terkejut.
Hal itulah yang dinilai tidak wajar dilakukan oleh Wali Nagari di hadapan Ninik mamak hingga membuat kegaduhan.
Merasa tidak puas dengan Ninik mamak, maka Wali Nagari mengeluarkan kata kata ancaman akan menggugat Tanah Balairong Adat Gurun.
Gedung Balerong Adat Gurun dibangun diatas tanah bekas Sekolah Rakyat Ia berdiri dari keringat serta keikhlasan tiga urang rantau Nagari Gurun — Alizar Thaib Dt. Maharajo Lelo, Drs. H. Almunir Rachman, dan H. Nurdin Ibrahim Dt. Radjo Malano, SH. Dibangun bukan untuk mencari nama, tapi untuk memayungi marwah adat yaitu tempat ninik mamak bermufakat, anak nagari berkumpul, dan baralek digelar.
Tujuh tahun belakangan, gedung lantai satu Balairung KAN Gurun dipakai Pemerintah Nagari untuk berkantor. Tidak bayar sewa, tidak mengurus perawatan. Dipakai siang malam, tapi atap bocor dibiarkan, cat mengelupas tak dipedulikan. Ibarat rumah tumpangan yang lantainya kotor, tapi tamunya merasa tuan rumah.
Kalau ini dibiarkan, Balairung bukan lagi simbol adat, tapi “monumen kesombongan.” Dan sejarah akan mencatat dengan tinta yang tak akan pudar siapa yang menjaga warisan, dan siapa yang berani memukul meja di hadapan penghulu demi ambisi pribadi. (Kasdi Ray/Red.Jm)
